Jumat, 18 September 2015

Tiga Perempuan

Di sebuah bandara, siang tadi saya bertemu dengan tiga perempuan. Tiga-tiganya menyapa saya dan kami berdialog singkat.

Perempuan pertama, menegur saya selepas pintu pemeriksaan pertama ketika kami antre untuk mengambil tas di ujung rel X-Ray. Di lengannya terlihat bulu-bulu halus, dan dilihat dari wajahnya, usia perempuan itu saya kira cukup muda. Saya menebak, anak laki-laki yang digandengnya, baru berusia lima tahun.

Penampilannya kasual: kausnya berwarna putih, celana jins, dan sepatu kets. Kacamatanya gelap. Kecuali kacatama itu adalah kacamata KW atau bajakan, dari merek yang terlihat oleh saya, saya tahu harganya separuh gaji terakhir saya. Wangi parfumnya lembut. Dugaan saya, secara ekonomi perempuan itu mapan. Cukup terawat.

Perempuan kedua, saya jumpai di ruang tunggu. Perempuan muda. Mengenakan tank top berwana gelap, tattonya menyembul dari salah satu bahunya. Semacam gambar naga atau ular. Saat saya duduk di sebelahnya di deretan bangku di dekat dua komputer bandara yang menyala, dia masih sibuk dengan gawainya. Baru beberapa menit kemudian, setelah saya selesai menggunakan komputer bandara, dia menyapa saya.

Perempuan ketiga adalah seorang ibu yang duduk di sebelah saya di dalam pesawat. Sejak saya duduk, saya perhatikan perempuan itu banyak melirik ke arah saya. Rambutnya disasak. Alisnya dikerok. Gincunya cukup menyala.

Di jari manis dan tengahnya yang terlihat mulai berkerut melingkar cincin emas yang padat, penuh taburan intan. Kukunya runcing dikutek merah jambu atau lebih muda lagi. Busananya berwarna salem. Semacam terusan, yang dari bagian pinggang ke bawah terlihat mirip rok sepan yang ujungnya melewati sedikit lututnya.

Di bawah betisnya terlihat selop highheel warna emas. Bling bling. Saya mengira dia istri eks pejabat.

I

“Mas..?”
“Iya mbak?”
“Eh... Enggak ding...”
“Hehehe.”
“Anu mas... Masnya seniman ya?”
“Kok mbak tahu?”
“Saya pernah melihat di mana gitu...”
“Di mana mbak?”
“Ah ndak ah. Saya takut keliru.”
“Hehehe.”
“Kok masnya ketawa sih? Betul kan, masnya seniman?”
“Hehehe.”
“Ah seniman suka begitu. Senyam-senyum, enggak ngaku.”
“Hehehe.”
“Masnya mau ke mana?”
“Ke kota Y mbak.”
“Sama dong, saya juga ke kota Y. Naik pesawat G ya?”
“Ndak mbak. Saya naik pesawat C.”
“Yah... Enggak satu pesawat kita dong.”

II

“Mas Rusdiii...”
“Ehm...”
“Masih ingat aku enggak?”
“Ya...”
“Siapa coba?”
“Ehm...”
“Ratna mas. Lupa ya?”
“Hai...”
“Lupa juga enggak apa-apa kok.”
“Ingat kok.”
“Aku kelihatan gemuk ya?”
“Iya...Eh ndak...”
“Ratna siapa coba?”
“Ratna gendut...”
“Iih Mas Rusdi gitu...”

III

“Serius banget bacanya mas?”
“Iya bu. Iseng daripada bengong.”
“Masnya ini penyanyi toh?”
“Bukan bu. Saya wartawan.”
“Lah kapan itu, saya lihat masnya muncul di tivi.”
“Bukan bu. Bukan saya.”
“Hehehe.”
“Kenapa bu?”
“Ndak. Saya juga iseng kok. Hanya ingin ngajak ngobrol.”
“Oh... Ya ndak apa-apa bu.”
“Novel apa itu mas?”
“Bukan novel. Buku kiat.” [Saya tak menunjukkan sampul buku]
“Kiat tentang apa?”
“Kiat seks aman di usia tua..” [Si ibu melengos. Dia menoleh ke jendela pesawat]

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar