Sabtu, 17 Oktober 2015

Miskin

Mereka mempunyai lebih banyak uang. Kata-kata dari Ernest Hemingway, sastrawan Amerika Serikat itulah yang kelihatannya mengilhami Jeffrey Sachs untuk mengimbau negara-negara kaya segera memenuhi janji mereka untuk membantu negara-negara miskin. Lima belas tahun yang lalu, melalui PBB, ekonom lulusan Universitas Harvard itu mengeluarkan “rencana praktis” untuk mewujudkan program PBB yang diberi nama “Tujuan Pembangunan Milenium” atau MDG’s.

Itulah program yang sesungguhnya merupakan kritik terhadap kegagalan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional [IMF] memberdayakan negara-negara miskin yang selalu dengan elok digambarkan sebagai negara dunia ketiga. Awalnya, setelah Perang Dunia II, dua lembaga itu dibentuk dengan “niat” membantu pembangunan negara-negara terbelakang. Skenarionya kira-kira seperti ini: Bank Dunia bertugas mengucurkan dana pinjaman berbunga rendah bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai negara, IMF bertugas memberikan pinjaman bagi negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran luar negerinya.

Namun setelah lebih separuh abad, Bank Dunia dan IMF dianggap gagal menjalankan fungsinya. Kemiskinan makin bertambah, dan secara absolut, jumlahnya terus membubung. Jika pada 1978, penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan sekitar 800 juta jiwa, pada saat Sachs membentangkan usulannya, angkanya sudah diperkirakan mencapai sekitar 1,3 miliar jiwa dari total penduduk dunia yang berjumlah 6,7 miliar.

Barangkali itu sebabnya, negara-negara anggota PBB kemudian menyetujui usulan Sachs, dan 15 tahun yang silam, mereka bersepakat untuk memulai perang terhadap kemiskinan absolut, dan praktik-praktik dehumanisasi. Target mereka adalah, pada 2015, dua dari delapan target MDG’s yaitu kemiskinan dan orang-orang yang kelaparan, akan semakin berkurang, meskipun hasilnya mungkin .

Sachs antara lain mengusulkan agar negara-negara kaya mewujudkan komitmen mereka untuk paling tidak, menyumbang 0,5 persen dari produk domestik bruto [GDP] negara masing-masing atau kombinasi GDP di antara keduanya. Angka itu memang dua kali lebih besar dibanding yang ditawarkan oleh negara-negara kaya itu sendiri, tapi masih jauh lebih kecil 0,7 persen dari yang pernah dijanjikan negara-negara maju, sembilan tahun sebelumnya. Sachs bahkan maju dengan usulan yang lebih konkret. Antara lain dengan mengajukan pemotongan minimum dari seluruh negara kaya, termasuk untuk Jepang dan Jerman, yang menginginkan menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Sachs tentu saja punya alasan. Baginya cukup sudah negara-negara kaya [selalu] mengulur-ulur janji. Lantas ketika bencana tsunami melanda sejumlah negara di garis pantai Samudera India, dan dunia memberi respons terhadap penanganan bencana itu dengan cepat, Sachs kembali mengingatkan komitmen yang pernah dibuat di PBB. “Belas kasihan tidaklah endemik,” katanya.

Niscaya ada penolakan untuk mengurangi angka kemiskinan di negara-negara miskin seperti yang diusulkan oleh Sachs itu. Beberapa ekonom bahkan meragukan keefektifan program PBB tersebut dan sebaliknya malah memandang program itu sebagai “penghamburan uang”. Kata mereka, mungkin memang benar apa yang dikatakan Ernest Hemingway, mereka [negara-negara kaya] memang lebih memiliki banyak uang, tapi semua itu dicapai dengan kerja keras, sistem yang baik, pengakuan hak investor yang aman dan dijamin undang-undang, serta penghematan sekian lama.

Untuk beberapa hal, seperti keraguan terhadap MDG’s itu, klaim para ekonom ada benarnya. Berdasarkan laporan PBB, terbukti pada tahun lalu, satu dari lima orang di negara miskin masih terus hidup kekurangan dengan penghasilan kurang US$ 1,25 atau sekitar Rp14.500 per hari. Badan Pangan Dunia, FAO tahun ini juga melaporkan ada 842 juta orang kelaparan.

Problemnya, klaim mereka melupakan satu hal: negara-negara kaya yang dinilai memiliki sistem yang baik dan ditopang oleh korporasi-korporasi besar, sejauh ini hidup dari pajak yang dibayarkan banyak orang. Tujuh tahun lalu, uang pajak rakyat di seluruh dunia itu bahkan telah menyelamatkan sistem moneter mereka dari keruntuhan akibat guncangan krisis perbankan, tapi setelah itu, mereka kembali berpesta. Perusahan-perusahaan besar dan multinasional tidak [mau] berbuat banyak untuk membagi keuntungan produktifitas kepada para buruhnya, bahkan jika itu hanya berupa sedekah.

Hal yang paling menyedihkan, tentu saja adalah fakta bahwa satu persen orang-orang terkaya dunia seperti dilaporkan “Deutsche Welle” Jerman hari ini, dalam waktu dekat akan menguasai 50 persen dari seluruh kekayaan global. Konkretnya: 80 orang terkaya dunia akan makin meningkatkan harta kekayaannya hingga mencapai US$ 1,9 triliun atau naik US$ 600 miliar dalam kurun waktu hanya empat tahun.

Benar, dalam waktu bersamaan, andil rakyat miskin yang mencakup separuh populasi dunia terhadap kemakmuran juga semakin menurun. Problemnya: jurang antara kaya dan miskin kini semakin lebar, dan akan jauh lebih lebar lagi dibanding 30 tahun silam. Konsekuensinya: semakin banyak warga dunia yang akan tidak memiliki akses menuju kemakmuran yang diciptakan peradaban.

Kini 15 tahun sudah, MDG’s dijalankan dan Sachs mungkin akan kecewa karena MDG’s yang dia usulkan mentok hasilnya, tapi dia mestinya jauh lebih tahu, orang-orang miskin tentulah bukan sekadar laporan statistik. Hemingway yang menyebut orang-orang kaya itu mempunyai lebih banyak uang, mungkin saja benar, tapi seperti kata penyair WS Rendra dalam "Orang-orang Miskin", orang-orang miskin juga akan mengganggu mimpi orang-orang kaya itu. Mencegat ideologi mereka, dan gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agama orang-orang kaya itu.

[Catatan untuk apa yang disebut sebagai Hari Pemberantasan Kemiskinan Sedunia 17 Oktober]

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar