Minggu, 11 Oktober 2015

Tambang dan Sawah

Dapatkah pertanian hidup berdampingan dengan tambang? Jawaban dari pertanyaan ini sedang dinanti Komari (70), warga kampung Kalan, Kelurahan Makroman, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Meski, sebagian sudah terjawab dalam tujuh tahun terakhir.

Sejak penambangan batu bara masuk ke kampungnya tahun 2008, dan menempati lokasi yang lebih tinggi (sumber air), ia tak bisa lagi menikmati aliran air dari gunung Lampu yang telah disulap menjadi areal penambangan.

Lahannya yang sekira dua hektare, kini hanya mengandalkan air hujan dan itikad baik dari perusahaan tambang untuk mengalirkan (memompa) air di galian bekas tambang batu bara.

"Kualitasnya, ya jauh kalau dibanding sumber air dari gunung waktu itu. Kan masih banyak pohon yang menyaring. Airnya jernih. Kami mandi, minum, masak ya dari situ," kata bapak 10 anak yang datang ke Samarinda sejak 1974 ini.

Ia sendiri tak tahu apa dampak air bekas tambang pada tanaman padinya yang kurang dari satu hektare itu bila dikonsumsi. Sisa lahan yang lain, ia tanami pisang, rambutan, terong, atau cempedak.

Selain air, Komari juga menghadapi endapan lumpur yang turun dari areal tambang karena tak ada lagi vegetasi yang menyaring. Bila kering, lumpur dari kawasan tambang ini lebih keras dari lumpur biasa.

"Dulu satu hektare itu kira-kira bisa 40 karung. Kalau sekarang hanya 20 karung. Apalagi kalau kemarau panjang seperti ini," pungkasnya.

Kini, air bekas tambang juga digunakan keluarganya untuk mandi. Untuk minum dan memasak, mereka harus pergi mengambil di sumber air yang masih tersisa di sela-sela bukit yang masih memiliki pepohonan.

Karena kawasan hutan di pegunungan Lampu telah tumpas, Komari dan puluhan petani lain di Makroman yang masih memiliki sawah seratusan hektare, juga menghadapi konflik dengan beruk (Macaca Nemestrina) yang menginvasi lahan dan merusak tanaman mereka.

Di tempat lain, barangkali ada praktik penambangan yang bisa hidup berdampingan dengan pertanian. Tapi tampaknya tidak bagi Komari dan para petani di Makroman, Samarinda.

Ekspedisi Indonesia Biru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar