Sabtu, 28 November 2015

Fantasi Pra-Facebook

Ini masih bagian dari kisah dari bongkar-bersih arsip lama dari gudang sebelum dimasukkan tong sampah.

Pada tahun 1979 saya mendapat kehormatan dari majalah remaja GADIS dan HAI. Mereka menampilkan wawancara dan profil saya, sebagai mahasiswa S1. Tidak lama kemudian saya mendapat banyak surat dari mereka yang ingin menjadi “sahabat pena”. Mereka menulisnya dengan pena di kertas (sebagian besar berwarna-warni dan berbunga-bunga) lalu diposkan. Sebagian mengirimkan foto diri, dan meminta saya mengirimkan foto saya. Mereka berasal dari berbagai kepulauan, dari ujung Barat hingga ujung Timur Nusantara, dengan aneka latar-belakang suku, bahasa-ibu, dan agama.


Kalau hari ini saya baca kembali sebagian dari surat-surat ini, isinya nggak beda banget dengan lalu-lintas posting, pesan dan komentar di Facebook. Beda pasti ada, tapi kemiripannya jauh lebih banyak dan sangat mendasar. Kesan saya, Facebook tidak menciptakan dunia baru untuk pergaulan antar kaum muda. Yang disebut media sosial bukan gejala belakangan saja. Cuma teknologinya saja yang beda.

Facebook kini berjaya, karena (atau hanya) dengan menyediakan perangkat baru yang lebih canggih untuk melayani kebutuhan yang sudah berkobar lama dalam masyarakat. Yakni kerinduan dan kenikmatan menyapa, berkenalan, dan berkomunikasi serba sedikit dengan mereka yang tidak dikenal secara pribadi, dan tidak dijumpai sehari-hari di lingkungan terdekatnya.

Dunia di sekitarnya terlalu nyata dan jelas. Setiap orang kenal terlalu banyak tentang orang lain, termasuk hal-hal yang buruk. Berkomunikasi dengan yang agak asing, yang hanya dikenal sebagian, dan terpisah jauh menjadi lebih indah, karena yang tidak jelas itu diisi dengan fantasi masing-masing yang terlibat. Saya bayangkan, bila kelak demam Facebook sudah berakhir, kerinduan insani itu akan terus berlanjut.

(Ariel Heryanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar