Jumat, 27 November 2015

Khidir

Nabi Musa as. memprotes Khidir ketika [calon] gurunya itu menghancurkan perahu yang mereka tumpangi bersama. Musa menuding Khidir tidak bijaksana tapi Khidir bergeming. Dia, sebaliknya, mengingatkan Musa pada janjinya untuk bersabar dan tidak banyak bertanya. Musa tak punya pilihan.Dia meminta maaf dan membenarkan Khidir.

Musa, sebelumnya, memang telah berjanji untuk bersabar dan tidak banyak bertanya. Janji itu disampaikannya sebagai syarat agar bisa menjadi murid Khidir, tapi Musa selalu tak sanggup melihat perbuatan Khidir.

Maka pada kejadian berikutnya, sewaktu Khidir memenggal kepala bayi, dan malah memperbaiki rumah seorang penduduk dari satu negeri yang seluruh warganya tidak ramah, Musa tak tahan lagi. Dia terus memprotes, meminta maaf lalu berjanji lagi, hingga Khidir kemudian mengakhiri niat Musa untuk berguru kepadanya.

Kisah klasik tentang Khidir dan Musa yang gagal berguru itu tercantum di ayat-ayat pertengahan dari 110 ayat surat Al Kahfi. Kisahnya dibuka dari ayat 60, sewaktu Musa mengutarakan keinginannya kepada muridnya untuk terus berjalan sampai menjumpai dua lautan karena diperintah Allah setelah sebuah kejadian.

Dalam sebuah hadits, diceritakan oleh Bukhari berdasarkan cerita dari Ubay Ibn Kaab, pada suatu hari, seseorang telah menemui Musa dan bertanya tentang kemungkinan ada orang lain yang lebih berilmu dari Musa. Menjawab pertanyaan itu, Musa memajukan dirinyalah sebagai gudangnya ilmu dan karena itu tak ada orang yang lebih berilmu darinya. Dan tentu saja Musa merasa benar dengan jawabannya itu.

Dia adalah nabi, utusan Allah, menggenggam Taurat, dan memiliki banyak mukjizat. Tak salah lagi, dialah tempat berlabuhnya semua tuntunan agama dan sumber pengetahuan. Tapi seperti itulah problem dan tabiat manusia termasuk juga Musa: mendaku paling pintar, paling berilmu, paling bisa, paling benar, paling disayang oleh Allah, paling saleh.

Masih menurut hadits Bukhari itu, Allah lantas menegur Musa: “Aku mempunyai seorang hamba di tempat pertemuan dua lautan yang lebih alim darimu [Musa].” Dan ke pertemuan dua lautan itulah, Musa kemudian berjalan untuk menemui hamba yang saleh, seperti yang dikabarkan oleh Allah. Cerita tentang perjalanan Musa termasuk tentang kegagalannya berguru itulah yang kemudian dikisahkan Al Quran di Al Kahfi mulai dari ayat 60 hingga 82.

Siapa Khidir?

Para mufassir atau ahli dalam ilmu tafsir, berbeda pendapat untuk perkara ini. Sayid Quthb, penulis tafsir “Fi Dzilalil Quran” misalnya, tidak menyebut nama Khidir dalam tafsirnya untuk 22 ayat Al Kahfi yang mengisahkan Musa dan Khidir itu. Quthb hanya menyebut “Al Abdus Shalih” [hamba yang saleh] seperti apa adanya, dan pendapatnya itu bisa diterima, sebab memang tidak ada nama Khidir yang disebut di Al Kahfi. Sebagian para alim sepakat dengan pendapat Quthb, sebagian lagi terang menyebut nama Khidir.

Di “Mystical Dimensions of Islam” yang ditulis Annemarie Schimmel, salah satu buku yang sering menjadi rujukan untuk menjelaskan sosok Khidir, bahkan ditulis, Khidir adalah salah satu nabi dari empat nabi. Dalam kisah Islam empat nabi itu adalah Nabi Idris as., Nabi Ilyas as., dan Nabi Isa as., dan Nabi Khidir. Mereka semua dipercaya sebagai sosok yang masih hidup meskipun perkara ini dibantah oleh para mufassir kontemporer.

Khidir memang kontroversial. Khidir atau Khaidir artinya hijau, dan karena itu sebagian para alim percaya, namanya itu hanya simbol atau gelar, meskipun hal itu juga disebabkan oleh sebuah cerita. Antara lain yang menyebutkan bahwa julukan Khidir, hijau itu, muncul karena apabila sosoknya sedang salat [dan karena saking salehnya], rumput-rumput kering di sekelililngnya berubah menjadi hijau. Dan kisah-kisah semacam itu cukup banyak, tapi kebanyakan berasal dari kisah-kisah Israiliyat. Cerita dari Bani Israel. Salah satunya menyebutkan, Khidir adalah seseorang yang bernama Elia meskipun di cerita lainnya, dia juga diidentifikasi sebagai St. George.

Tapi secara umum para alim sepakat menganggap Khidir sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius. Sosoknya akan selalu merujuk kepada hamba yang saleh yang disebut oleh redaksi Al Kahfi dan dijumpai oleh Musa itu. Dia dikenal [dan dipercaya] karena ilmunya yang tak semua orang bisa belajar dan berguru padanya, tidak pula Musa, kecuali mereka yang [mau] bersabar dan percaya.

Lalu, dalam sebuah riwayat yang dipercaya telah diceritakan oleh Sufyan Ats Tsaury, Khidir berkata: “Wahai pencari ilmu, sesungguhnya orang yang berbicara tidak lebih mudah jemu daripada orang yang mendengarkan. Maka janganlah engkau membuat orang-orang di sekitarmu menjadi jemu saat engkau berbicara kepada mereka. Ketahuilah olehmu bahwa hatimu merupakan bejana. Kenalilah dunia dan buanglah ia di belakangmu karena dunia bukan tempat tinggalmu [yang abadi], dan apa yang ditetapkan bagimu tidak ada di sana.”

‪#‎khotbahjumat‬
Rusdi Mathari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar