Selasa, 24 November 2015

Mogok

Ketika pemogokan umum itu melanda London yang murung, tak seorang pun karyawan surat kabar The Times yang ikut di dalamnya. Tak pula para wartawannya. Pemimpin surat kabar itu, dengan pongah mengatakan, semua karyawan The Times setia kepada pekerjaannya, kepada profesinya, dan karena itu mereka tidak ikut-ikutan dengan aksi pemogokan umum.

Hari itu di pengujung 1926, di kota-kota di Inggris, para pekerja yang marah tengah menuntut pemerintah agar tidak menutup pertambangan batubara. Aksi mereka berakhir ketika pemerintah kemudian setuju untuk meningkatkan upah mereka dan menempatkan perwakilan yang memiliki kedudukan sama kuat di manajemen pabrik-pabrik.

Hingga 53 tahun kemudian, ketika hampir semua orang melupakan ketidakhadiran para wartawan The Times dalam aksi mogok di tahun 1926, kejadian sebaliknya dan lebih telak, justru menimpa surat kabar ternama itu: The Times berhenti terbit karena seluruh karyawan termasuk para wartawan mogok bekerja. Berbeda dengan pemogokan umum 1926 yang hanya berlangsung beberapa hari, pemogokan para karyawan dan wartawan The Times malah berlangsung selama hampir setahun.

Tahun itu, 1978, manajemen The Times memutuskan untuk menggunakan komputer dan rencana itu ditolak oleh karyawan. Karyawan-karyawan di bagian produksi terutama, yang pekerjaan mereka antara lain menyusun huruf-huruf sebelum koran naik cetak, menganggap komputer akan menggantikan profesi mereka. Beberapa pengamat menyalahkan The Times karena gagal meyakinkan karyawan soal modernisasi dan sebaliknya memupuk keangkuhan profesi para karyawan.

Banyak yang dirugikan dengan pemogokan itu tentu saja, tapi para pembaca The Times bisa diyakinkan bahwa bahkan wartawan pun berhak menyuarakan kepentingan mereka setelah selalu menyuarakan kepentingan orang banyak. Dan tidakkah para pembaca The Times juga tak bisa melakukan pekerjaan yang dilakukan wartawan The Times: melaporkan, menulis dan memberitakan ketika melihat ketidakadilan di sekitar mereka?

Pemogokan sebelas bulan yang dilakukan wartawan The Times, karena itu dimaklumi oleh para pembaca. Para wartawan dari media lain termasuk dari pesaing The Times juga tidak mencoba menarik keuntungan dengan misalnya melamar atau menawarkan diri untuk menggantikan posisi para wartawan yang mogok agar koran itu bisa terbit kembali. Sebagian malah memberikan dukungan moral, yang lain mencarikan jalan keluar dan sebagainya hingga The Times terbit kembali dan tuntutan para wartawannya dipenuhi.

Bertahun-tahun kemudian, setelah manajemen The Times menyadari kesalahannya dan lalu memperbaikinya, surat kabar itu menjadi salah satu koran yang terpercaya di Inggris bahkan hingga kini. Pemogokan pada 1978 efektif mengubah pola pikir manajemen The Times untuk memperlakukan wartawan dan karyawannya sebagai aset. Bukan sebagai sekrup kecil dari sebuah industri yang hanya harus tunduk kepada keinginan dan kepentingan politik para pemodal dan bos mereka. Singkat kata pemogokan karyawan The Times berhasil tapi pada saat mereka merayakan kemenangan, mogok nasional justru baru saja dimulai di Inggris.

Sopir truk, buruh pabrik, dan pekerja di sektor publik lainnya serentak mogok di penghujung 1978. Aksi mereka berlangsung setahun dari musim beku ke musim beku tahun berikutnya. Mereka menamakan aksi mereka sebagai “Winter of Discontent”, istilah yang dipungut dari salah satu kalimat pembuka naskah monolog William Shakespeare berjudul “Richard III”. “Sekarang adalah musim dingin ketidakpuasaan...”

Inggris saat itu dilanda resesi. Pertumbuhan ekonomi melambat, produksi anjlok, pengangguran menumpuk. Sebelumnya PM James Callaghan dari Partai Buruh yang berkuasa, mengeluarkan beleid tentang perlindungan upah untuk melindungi para pekerja tapi usaha mengendalikan inflasi itu tak efektif. Rezim Callaghan gagal dan akhirnya tumbang. Dia digantikan Margareth Tatcher, yang dijuluki sebagai perempuan bertangan besi yang segera membubarkan aksi mogok para buruh meskipun perekonomian Inggris tetap tak terselamatkan, dan baru siuman dua tahun kemudian.

Mogok adalah perbuatan tidak mau bekerja sebagaimana mestinya untuk memprotes atau menyatakan penolakan terhadap satu kebijakan. Tujuannya antara lain untuk mendapat perhatian luas dan diharapkan persoalan yang dihadapi para pekerja di tempat kerjanya, mendapat dukungan. Dengan kata lain, mogok sebetulnya adalah alternatif terakhir setelah sekian cara untuk menyelesaikan persoalan perburuhan tidak berhasil atau tidak mencapai kata sepakat.

Di Indonesia, mogok diatur dan dilindungi oleh undang-undang. Dan karena mogok adalah hak para pekerja maka usaha apa pun yang menghalangi-halangi aksi mogok para pekerja atau buruh mestinya bisa dianggap menentang undang-undang. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan hal itu dengan sejumlah syarat: mogok kerja harus dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan.

Lalu mulai hari ini sampai tiga hari ke depan, para buruh di seluruh Indonesia menyerukan dan melakukan mogok nasional sebagai protes atau menentang rumus pengupahan yang baru yang ditetapkan pemerintah. Formula itu antara lain mengatur kenaikan upah buruh setiap tahun berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Upah tahun depan misalnya adalah upah minimum tahun ini ditambah persentase kenaikan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Contoh, apabila upah minimum yang diterima para buruh tahun ini adalah 10 rupiah, dengan inflasi 10% dan pertumbuhan ekonomi 10%, maka upah yang akan diterima para buruh pada tahun berikutnya adalah 10 rupiah dikalikan 20% [10% + 10%], atau sama dengan 12 rupiah.

Melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, pemerintah mendaku rumus pengupahan yang diumumkan pertengahan Oktober silam adalah konsep yang adil, karena di negara lain bahkan di negara maju, [pendapatan dari] pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya diberikan pada buruh. Problemnya: formula itu ditolak oleh para buruh dengan sejumlah argumen.

Salah satunya adalah upah minimum Indonesia yang jauh tertinggal dari negara-negara tetangga, misalnya Thailand dan Filipina. Di dua negara itu, rata-rata upah buruh adalah [hampir] Rp4 juta. Singkat kata, para buruh menuntut pemerintah memperbaiki terlebih dahulu gaji minumum para pekerja sebelum berbicara kenaikan upah berkala. Dengan rumus pengupahan yang baru, pemerintah dianggap membatasi upah minimum selain menutup peran Dewan Pengupahan yang di dalamnya termasuk serikat pekerja.

Tentu, seruan mogok nasional yang dimulai hari ini adalah pilihan terakhir. Bila ada pilihan lain yang lebih baik dan upah para buruh memadai, mereka niscaya juga tidak menginginkan melakukan pemogokan. Dan mereka hanya sekadar memperjuangkan hak mereka, karena kesejahteraan harus diperjuangkan bukan ditunggu.

Anda yang tidak setuju dengan aksi mogok para buruh, karena itu tak perlu mengeluh apalagi melecehkan aksi para buruh itu. Tiga puluh tujuh tahun yang lalu, para pembaca The Times justru mendukung aksi mogok oleh pekerja koran itu di London, dan mogok nasional berikutnya yang berlangsung di seluruh Inggris dari musim beku ke musim beku berikutnya malah menumbangkan pemerintah yang berkuasa.

‪#‎selasabahasa‬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar