Selasa, 03 November 2015

Uban

Puntuk Setumbu, pukul tiga pagi. Bulan separuh terpenggal. Seperti terluka. Dingin tak terlalu.

Baru ada satu mobil yang singgah di parkiran paling bawah. Sepasang remaja. Mungkin sudah pacaran. Mungkin baru saling mencoba mengenal. Sang Perempuan dibiarkan tertidur di dalam mobil. Sang Laki-laki, tegap, badannya kukuh, keluar dari mobil sambil membawa sebuah buku. Kulirik bukunya, buku tentang pemasaran. Dia berbagi senyum. Lalu memesan kopi instan pada pemilik warung. Tapi pesananku terlebih dulu datang, bersamaan dengan tempe goreng panas yang baru saja diangkat dari wajan.

Usai sarapan dengan Om Tan, pikiranku pontang-panting. Sepulang dari dari sana, aku langsung ke kantor. Ah, kantor. Tidak bisa persis dibilang seperti itu. Hanya sebuah rumah yang di dalamnya ada beberapa anak muda pekerja kreatif. Aku rapat sebentar dengan mereka, lalu balik lagi ke rumah ketika sore tiba.

Hatiku masih tak keruan. Semua hal yang kupikir bisa menentramkan barang sejenak, aku telusuri. Akhirnya jatuh pada permintaan kepada istriku untuk mencabuti uban di kepalaku.

Dibanding beberapa teman sebayaku, uban di kepalaku tak banyak amat. Mungkin faktor turunan. Bapakku tak punya banyak uban, juga ibuku. Tapi bukan mencabuti uban yang sesungguhnya kucari. Aku hanya ingin tiduran di pangkuan istriku, lalu dia akan memeriksa rambutku dengan kasih sayang dan kejelian. Kemudian mencabuti uban-uban, sambil sesekali berdebat apakah uban yang sudah dicabut itu benar-benar uban atau hanya rambut biasa yang kena tampias sinar.

Usai prosesi mencabuti uban, hatiku mulai agak tenteram. Lalu aku masuk ke kamar kerja. Tidak bekerja tentu saja. Hanya tiduran sambil mengecek beberapa kerjaan yang dilakukan oleh teman-teman di kantor lewat gawaiku.

Makan malam kulewati dengan biasa. Kata istriku, makan malam para pemalas. Malas keluar. Maka kami hanya menunggu Pak Rawi, bakul sate ayam dari Madura langganan kami lewat. Kami membeli dua porsi kecil, harganya dari tiga tahun lalu hanya naik sekali, sebesar seribu rupiah. Jadilah dari sembilan ribu menjadi sepuluh ribu.

Usai makan malam, aku bercengkerama sebentar dengan anak laki-lakiku. Ketika anak dan istriku mulai masuk ke kamar tidur pada pukul sepuluh malam, aku juga masuk ke ruang kerjaku. Kembali bekerja.

Tapi sejak pukul 12 malam, kembali pikiranku merasa gelisah. Aku mondar-mandir dari ruang kerja, ke ruang televisi, ke dapur. Tak jelas. Membuat secangkir kopi, tapi tak kuminum. Mengeluarkan sebatang kretek, tapi tak kusulut. Menyalakan televisi, tapi tak kutonton. Hanya memindah beberapa saluran televisi, lalu kumatikan.

Selama dua jam, aku melakukan hal tak jelas itu, hingga aku iseng mencari-cari sesuatu lewat Google. Awalnya hanya mengetik kata 'Borobudur', tapi entah lewat berapa tautan, akhirnya aku masuk ke beberapa blog yang menulis tentang Punthuk Setumbu. Sebuah bukit berjarak kurang-lebih 6 kilometer, tempat melihat matahari terbit dengan latar candi Borobudur.

Lalu entah kenapa, aku langsung masuk mobil. Tancap gas. Sendirian. Menuju Punthuk Setumbu.

Kurang dari sejam, sampailah aku di sini. Setelah ngobrol sebentar dengan pemilik warung, aku memutuskan naik ke Punthuk Setumbu begitu usai azan Subuh.

Kuliah di mana, Dik? Tanyaku iseng kepada pemuda di sampingku yang sudah menyelakan rokok ketiganya.

"UPN, Mas..."

Mengambil jurusan apa?

"Teknik lingkungan, Mas..."

Kami kemudian terlibat obrolan bertiga: Aku, pemuda itu, dan pemilik warung.

Ketika azan Subuh usai bergema, aku pamitan sambil membayar minuman dan penganan. Lalu naik. Sendirian. Lewat petugas loket, aku tahu bahwa hari itu, aku adalah orang pertama yang naik Punthuk Setumbu.

Tanjakannya tak terlalu, tapi tetap saja bagi orang yang beberapa hari mengalami keletihan pikiran dan kurang tidur, aku cukup krenggosan. Dan benar, ketika aku sampai di atas, belum ada satu manusia pun. Akhirnya aku tiduran di bangku bambu.

Aku ingin tidur sebentar saja. Sekian menit tak mengapa. Tapi malah sibuk menerawang, menatap bulan separuh yang seperti terperangkap di reranting pohon jati.

Satu dua orang mulai datang. Kebanyakan bule. Dari sepintas bahasa mereka, tampak rombongan kecil bule dari Jerman. Pemandangan masih gelap. Beberapa orang memakai senter untuk mencari tempat yang nyaman sekadar duduk-duduk dan ngobrol.

Setengah jam kemudian, lanskap mulai terlihat. Suasana mulai agak terang. Mungkin ada sekitar 50 orang sudah memenuhi puncak Punthuk Setumbu. Orang-orang yang gemar memotret sudah mencari tempat terbaik untuk memotret matahari terbit. Suara orang-orang membuka tas kamera, memasang tripod, mencoba jepretan, membuat kegaduha kecil yang menyenangkan. Aku lalu duduk dan memesan kopi instan lagi dari seorang penduduk yang warungnya di puncak Punthuk Setumbu baru saja buka.

Sambil menyeruput minuman itu, sepasang mataku beredar. Lanskap mulai makin jelas. Samar kulihat Borobudur yang agung. Juga Gereja Ayam, yang beberapa bulan lalu sempat membuat heboh karena banyak diliput wartawan. Sebagai orang yang dulu sekali cukup terbiasa berburu matahari terbit dan tenggelam, aku berpikir bahwa kami yang sedang di sini tak akan mendapatkan pemandangan matahari terbit yang bagus. Awan di sisi timur tampaknya susah ditembus matahari.

Aku lalu berjalan sebentar. Berjalan begitu saja. Aku berpapasan dengan laki-laki di parkiran. Juga dengan perempuan yang tad dibiarkannya tidur di mobil. Kami bertegur sapa sebentar.

Lalu aku melanjutkan berjalan ke beberapa sudut. Tiba-tiba gawaiku menyala. Pesan dari Sahabatku masuk. Sahabat yang lama sekali kutunggu kabarnya tapi tak pernah datang juga. Sahabat yang dengannya aku perlu bicara lagi setelah obrolan di Hotel Mercure Surabaya. Dia yang menguatkanku untuk mengikuti bisikan-bisikan ke Timur. Ke arah yang tak jelas. Timur yang tak jelas. Timur yang tak tuntas.

"Aku sedang menuju ke Magelang."

Ngapain?

"Kamu sebaiknya menemaniku nanti malam."

Ke Magelang?

"Lebih tepatnya di Hotel Manohara."

Kamu dengan siapa?

"Sendirian."

Jam berapa sampai Manohara?

"Mungkin jam 2 siang nanti."

Aku datangnya malam saja, ya...

"Ya, tapi sebaiknya kamu cepat pulang."

Cepat pulang? Kok kamu tahu kalau aku tidak di rumah?

"Apakah pertanyaan itu layak kamu layangkan kepadaku? Lihat ke arah pukul dua."

Aku cepat menengok ke arah pukul dua. Darahku terkesiap. Rombongan itu berada di sini. Rombongan kedua yang hampir bertikai dengan rombongan yang nyaris mencelakakanku dengan Om Tan dan Rus.

Di sebelah kiriku, seorang bule memberi tanda kepada pemandunya bahwa dia merasa sudah usai di situ. Dua bule laki-laki itu lalu bergerak turun. Aku masuk ke rombongan mereka, memotong Sang Pemandu. Supaya tak terlihat aneh, aku menegur Sang Pemandu, bertanya hal-hal yang tak penting, tapi membuatnya tampak suka.

Aku melirik ke arah rombongan orang-orang yang kutemui di rumah makan di dekat hutan itu. Melirik pinggang dan panggul mereka. Menonjol semua. Mereka masih membawa pistol. Mereka seperti sedang mencari seseorang.

Begitu mulai agak jauh dari rombongan yang masih sibuk di puncak Punthuk Setumbu, aku melesat setengah berlari menuruni Punthuk Setumbu.

Sampai di mobil, aku menenangkan diri sejenak. Minum air putih dan membasuh mukaku dengan air minum. Supaya sedikit segar.

Lalu aku masuk ke dalam mobil. Aku kepikiran untuk memberi kabar ke Sahabatku. Tapi gawaiku mendadak berkedip dulu.

"Nanti malam sendirian saja."

Sialan. Aku menggeprak tangan kananku ke setir tanpa sadar. Klakson otomatis berbunyi. Aku kaget dan memaki. Terlebih orang-orang di situ melihat ke arahku. Dan dari arah jalan setapak yang menuju ke arah puncak Punthuk Setumbu, rombongan yang kemungkinan mencariku berlari turun.

Mobilku segera bergerak cepat. Kali ini, aku benar-benar panik.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar