Senin, 30 November 2015

Yai Kemad

Kisah ini kalaupun belum ditulis, bukan berarti tidak beredar. Bagi Anda yang suka mengikuti forum-forum ringan keagamaan, berkumpul dengan para penghikmat kesunyian, bertabik-gurau dengan para pencari hidayah, besar kemungkinan Anda telah mendengarkan kisah ini.

Adapun nama-nama dalam kisah ringkas ini, karena untuk kepentingan tertentu, beberapa nama saya hilangkan, semata untuk menjaga apa yang seyogianya dijaga. Ada yang saya beri nama sendiri supaya mempermudah kisah ini sampai dipahami, bukan karena meremehkan kaum pembaca, namun supaya agak enak dibaca. Maklum, saya tak pintar-pintar amat dalam berkisah.

Sofa adalah anak muda di tahun ketika kejadian ini berlangsung, belum genap berumur 40 tahun. Bisnisnya lancar, mulai dari jual-beli garam, tembakau, tebu, kadang juga kulit sapi dan wedus. Semua yang dianggap halal untuk diperdagangkan, dia lakukan.

Sofa juga punya keluarga yang membahagiakan. Dengan istri anak tunggal seorang haji yang sohor di kampungnya, yang cukup kaya karena punya bisnis peternakan lebah madu. Mereka dikaruniai dua anak, laki-laki dan perempuan.

Dulu, Sofa tak begitu kaya. Suatu saat dia ikut mengaji kitab di sebuah pesantren ketika bulan puasa, dan tertegun oleh sebuah pembukaan kitab: "Jika kamu percaya bisa kaya karena usahamu, maka tipislah imanmu kepada Tuhanmu."

Detik itu pula, kehidupan sehari-hari Sofa memasuki babak mendalami kitab itu. Ada banyak carang kontradiksi yang harus dia lewati dengan memeras pikiran dan hati. Bahkan mulai dari yang awal: Bukankah hanya mereka yang berusaha yang akan mendapatkannya? Lalu bagaimana hubungan antara usaha dan hasil? Di mana Tuhan dalam mengapresiasi usaha hambanya, yang terus-menerus ada dalam berbagai pernyataan di kitab suci?

Semenjak itu, Sofa tekun mengaji. Rajin berpikir dan tak ragu untuk bertanya. Semenjak itu pula, Sofa mulai dikenal di berbagai majelis pencari hikmah. Semenjak itu pula, Sofa mengalami sendiri, bagaimana dia meluangkan makin banyak waktu untuk belajar, yang berarti memangkas waktu untuk berdagang, namun rezekinya makin berlimpah. Hingga tepat ketika dia menyelesaikan kitab itu, dia ada di puncak kekayaan. Dia tidak bisa menyimpulkan, tapi dia bisa mengerti karena mengalami.

"Sebab ilmu tanpa mengalami, itu bukan ilmu." begitu kata guru ngajinya.

Sofa akhirnya dekat dengan beberapa ulama besar di negeri ini. Menjadi kemewahan bagi dia, ketika bisa berdekatan dengan mereka terutama di saat mereka berjumpa, berdiskusi, dan bercengkerama.

Suatu saat, kira-kira di akhir tahun 90an, Sofa mengikuti semacam seminar keagamaan tingkat internasional, yang mayoritas pembicaranya adalah para ulama dari Indonesia. Salah satu di antara mereka adalah Gus Dur. Dan beja kemayangan bagi dia, ketika suatu malam, para ulama di Indonesia itu bercengkerama sampai Subuh. Menebar guyonan, berbagi hikmah dan pengetahuan.

Obrolan tersebut sempat diselingi dengan salat Subuh berjamaah. Usai salat Subuh, kembali mereka meriung. Salah satu kiai sepuh kemudian bilang, "Pagi begini, biasanya saya diberi makanan oleh orang yang mulia hatinya, yang dicintai oleh Tuhan. Biasanya saya diberi lontong dan opor ayam..."

Lidah sebagian peserta forum terbatas itu berkecipak. Membayangkan lontong dan opor ayam. Tapi mereka juga sadar, bagaimana mungkin di negeri Mesir di pagi seperti itu, bisa ada menu yang mendulang ludah di mulut.

Namun tepat di saat itu, pintu diketuk dari luar. "Nah, rupanya dia datang!"

Pintu pun dibuka. Seorang laki-laki berkaos Swan putih, bercelana kain komprang hitam, masuk sambil membawa sebakul lontong hangat, dan senampan opor yang masih mengepul.

Sofa kaget bukan kepalang. Dia tahu laki-laki yang datang mengantar makanan. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi lidahnya kelu. Kerongkongannya membeku.

Begitu pulang ke Indonesia, balik ke kampungya, dia segera ingin menuntaskan misteri yang dialaminya. Dia pergi ke rumah Koh Yan, seorang pedagang tembakau, seorang kenalan baiknya.

"Koh, laki-laki agak sepuh yang menjaga gudang tembakaumu di dekat jembatan itu siapa namanya?"

"Oh, itu Pak Kemad."

"Nama aslinya siapa?"

"Kalau tidak salah nama aslinya Ahmad siapa begitu... Memang kenapa, Dik Sofa? Kalau butuh, bisa saya tanya kepala gudang."

"Tidak perlu, Koh. Beberapa hari ini dia pergi?"

"Enggak. Ada terus kok..."

"Koh tahu apa yang dia lakukan setiap hari atau setiap malam?"

"Wah ya enggak tahu, Dik... Memang kenapa? Ada yang salah dengan Pak Kemad?"

"Tidak, Koh. Tidak"

Obrolan macet. Akhirnya Sofa memutuskan untuk mencari sisik melik sendiri. Mencoba menyingkap misteri. Bagaimana bisa, orang sepuh di kampungnya, yang 'hanya' bekerja menunggu gudang tembakau, bisa tiba-tiba di suatu malam datang mengantarkan opor dan lontong yang dinikmati oleh para ulama besar ketika mereka sedang ngobrol di negeri yang jauh.

Pencarian Sofa tidak berhasil. Setiap kali dia berhasil bertemu dengan Pak Kemad, laki-laki sepuh dan sederhana itu hanya menebarkan senyum. Dan setiap kali senyum itu tertebar, semua yang ada di kepala Sofa mendadak macet. Namun, kemacetan itu bukanlah macet yang menggusarkan, melainkan mendamaikan.

Dan biasanya setelah kejadian seperti itu, Sofa lalu menuju sebuah warung lontong opor, menyantap satu porsi, sambil merelakan misteri itu tetap sebagai misteri.

Selamat siang, tak ada salahnya siang ini Anda menyantap lontong opor. Siapa tahu ada hikmah yang mendatangi Anda begitu usai Anda menyantapnya...

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar