Rabu, 16 Desember 2015

Kisah Motinggo

Ruang baca itu kini gelap.

"Iin tahu kamu tidak berani."

"Tidak berani apa Iin?" tanya Jamal gemetar.

"Tidak berani menyatakan sesuatu."

"Sesuatu apa?"

"Sesuatu."

"Sesuatu apa?" Jamal berucap sembari ketawa.

"Hmmm. Takut ya?"

Jamal menatap wajah Inneke. Senyumnya penuh kegentaran.

"Saya berani mengatakannya," kata Jamal tiba-tiba.

"Menyatakan apa?" tanya Inneke.

"Cinta," suara Jamal hampir tertelan.

Mendengar itu Inneke malahan pucat. Gadis itu bangkit dari sofa lalu terduduk. Mukanya kini hanya berjarak sejengkal dari Jamal. Dipandanginya lelaki itu.

Tanpa diduganya, sebelah tangan Jamal menjamah bahunya, lalu pelan-pelan menarik lehernya.

Gemetar Jamal ketika menundukkan kepala lantas menempelkan bibirnya pada kening Inneke, lalu turun mencapai ujung hidung gadis itu, dan kemudian melumat bibirnya dengan lembut.

....

Delapan belas tahun lalu saya menamatkan novel karangan Motinggo ini, "Puteri Seorang Jenderal". Ritmenya turun naik penuh hentakan, sehingga secara tak sabar saya menyelesaikannya hanya dalam dua malam.


Tragis. Sebuah kecelakaan kuda kemudian merenggut Inneke dari Jamal. Puteri jenderal itu kehilangan memori dan mengalami kelumpuhan total. Jamal, yang sebenarnya datang dari keluarga sederhana, namun telah disukai oleh keluarga Inneke karena kepandaian dan kehangatannya, sesungguhnya tabah menerima keadaan kekasihnya itu.

Namun selepas kuliah ia diterima bekerja di Natuna, yang menghadapkannya pada dilema besar. Di satu sisi ia ingin tetap berada di dekat kekasihnya yang kini cacat, namun di sisi lain sebagai anak tertua ia harus bertanggung jawab atas perekonomian keluarganya.

Atas bujukan ayah Inneke, yang paham bahwa puterinya kini tak lagi punya masa depan, Jamal akhirnya pergi merantau. Tapi ia tetap mencintai Inneke. Ia terus mengirimi kabar dan memantau perkembangan Inneke melalui surat. Berbilang bulan, hingga tahun.

Sesudah sekian lama, sang jenderal berpikiran bahwa perhatian dan surat-surat dari Jamal untuk puterinya hanyalah bentuk sopan santun dari seorang gentleman saja. Sebagai lelaki, ia menduga bahwa Jamal mungkin saja sudah mulai membangun kehidupan baru. Dan dia memang berhak mendapatkannya. Surat-suratnya untuk Inneke-pun kemudian dibendungnya. Tak ada lagi balasan untuk Jamal.

Toh keajaiban itu akhirnya muncul juga. Secara dramatik Inneke kemudian pulih kembali, meski pelan-pelan.

Tapi drama terus mengalir jauh. Inneke, yang kemudian bisa pulih, lalu dinikahkan pada dokter yang menyembuhkannya. Sementara Jamal, yang keras kepala, tetap menantikannya dari jauh.

"Maaf saya memotong, Om," sergah Jamal. "Saya tidak memaksakan diri bahwa Inneke akan sembuh. Taroklah hari ini rumah sakit membolehkan dia pulang, saya akan datang ke rumah Om menjenguknya. Taroklah dia bertahun-tahun lagi baru bisa menggerakkan lidah untuk membalas teguran 'halo' dari saya, saya tidak kecewa menunggunya."

Demikian debat Jamal pada sang jenderal bertahun-tahun silam, sebelum dirinya terpaksa merantau ke seberang. Nyatanya ia bukan hanya merantau ke Natuna, namun New York, Alaska, dan keliling dunia.

Ketika kembali ke Indonesia, Jamal mendapati cintanya telah menjadi pasangan orang lain. Ia menyaksikan Inneke mendorong kereta bayi. Hatinya hancur. Untuk mengalihkan luka, ia kembali melanglang buana.

Dan setiap kali kembali ke Indonesia, dia selalu melakukan ritus yang mengiris itu: memandangi kekasihnya dari kejauhan. Ia tak ingin kehadirannya mengganggu cintanya.

Ketika anak tertua Inneke sudah beranjak remaja, belasan tahun kemudian, kerinduan itu tak lagi bisa ditanggungkan oleh Jamal, yang terus saja melajang. Dalam sebuah tahajudnya, ia meminta dipertemukan secara baik-baik pada Inneke, untuk sekadar membasuh rindu.

Tuhan Maha Pemurah. Pada sebuah rembang petang, secara tak sengaja ia berpapasan dengan Inneke. Tanpa diketahui Jamal, perempuan itu baru saja menjanda, sesudah suaminya mengalami kecelakaan saat bertugas di sebuah daerah bencana.

Keduanya saling bersitatap dengan pandangan nanar. Tubuh keduanya bergetar.

Perjumpaan yang dramatis itu menjadi penutup novel Motinggo.

Delapan belas tahun lalu saya membaca novel itu. Dan tadi malam, sesudah gagal tidur sepulang dari TIM, saya kembali membaca novel itu, yang saya temukan kembali di sebuah kios di Senen akhir pekan lalu.

Benar kata Motinggo, cinta yang baik tak datang dari kekasih yang buruk. Karena kekasih yang buruk memang tak pernah mencintai.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar