Selasa, 01 Maret 2016

*Paham

Saya mulai menulis di koran-koran sejak SMA, saat kuliah, masuk kampus perubahan, yang dipenuhi banyak aktivis kelas berat (baiklah, akan saya sebut saja, kuliah di UI), saya menemukan banyak pemikiran2 baru yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Juga buku2 yang tidak pernah saya baca sebelumnya.

Sepertinya keren sekali menjadi aktivis, yang jago bicara tentang Marxisme, lihai berdebat soal paham sosialis, kemudian meletakkan foto Che Guevara, atau tokoh2 yang nampak gagah sebagai “pemberontak”, “perlawanan”, “pejuang”, dsbgnya sebagai idola. Untuk kemudian, di selasar2 kampus, di basecamp organisasi, di kostan, di forum2, berbincang panjang tentang paham-paham ini, berdebat tidak ada habisnya.

Waktu terus berjalan, kehidupan kampus terus bergerak, untuk kemudian muncul lagi jenis aktivis baru, pergerakan yang berbeda. Yang kali ini bicara tentang kesetaraan, hak asasi, kebebasan bicara, liberal, demokrasi, dan semua jargon2 tidak kalah hebatnya. Seperti terlihat hebat benar kalau sudah bicara tentang ini di seminar2, celoteh saat di angkutan umum, atau saat mengirim SMS, ow, saya lupa, dulu HP masih langka, lebih banyak pager. Itu bukan “pagar”, dek, tapi pager, radio panggil. Kecil bentuknya, bisa menerima pesan, “Kawan, ada diskusi tentang HAM di markas pukul 13.00.”

Itu masa-masa yang dipenuhi hal baru, euforia tidak terkira--karena saya datang dari pelosok kampung. Apapun ingin dicoba. Di kampus ada kegiatan apalah, ikut. Teman2 ngajak ini, itu, ikut. Dan bukan hanya yang beginian saja, saya juga menyemplungkan diri ikut Jamaah Tablig, alias JT, juga bersinggungan dengan kegiatan dan aktivis seperti HMI, PMII, dsbgnya, dsbgnya. Bahkan termasuk ada yang ngajak aktivitas menghitung burung di Gunung Salak, saya ikut. Menghitung ikan di lautan, juga ikut. Kecuali yang sejenis NII, saya tidak ikutan, nasib menyelamatkan saya, atau boleh jadi mereka tidak tertarik menjadikan saya kader--”ah, anak ini tidak menjanjikan, cuma ikutan nyari konsumsi gratis saja.”

Dengan begitu banyak paham tersebut, lantas mana yang memang brilian dan paling keren?

Jawabannya: tidak ada.

Saya memutuskan untuk berhenti terlalu mengagung-agungkan paham-paham tersebut. Mengotot sekali merasa itu sesuatu yang paling keren. Tidak lagi. Lebih baik saya kembali ke masa silam, saat masa kanak-kanak saya dibesarkan di pelosok. Guru2 mengaji, guru2 di sekolah. Orang tua bersahaja di sekitar kita. Kearifan lokal, kearifan bangsa sejak lama, yang jelas adalah turunan dari nasehat agama yang baik.

Dunia ini semakin modern, orang2 punya paham yang semakin mutakhir, misalnya: freedom of speech. Apakah memang begitu realitasnya? Tidak. Dunia ini semakin tenggelam dalam hipokrasi, kemunafikan. Jangankan menegakkan freedom of speech, kita bahkan sudah sejak awal sudah terkotak2 ruang diskriminasi. Dan tentang paham2 yg saya baca hebat sekali ketika kuliah dulu? Juga omong kosong saja. Kalian tahu? Negara paling demokratis di dunia ini, justeru yang paling banyak menembakan rudal. Negara paling sosialis, juga negara2 yang justeru miskin dan terbelakang, menyiksa rakyatnya. Sementara di media sosial, para penganut berbagai paham terus bertengkar, berdebat tidak habis-habisnya.

Maka biarlah hingar-bingar itu. Saya memutuskan untuk kembali ke guru-guru mengaji di kampung dulu. Saat kesederhanaan hidup terlihat sangat kongkret dan nyata. Saat menulis novel RINDU misalnya, itu salah-satu momen ketika saya kembali ke masa lalu. Ketika ulama diingat kembali sebagai bagian penting dalam perjuangan bangsa untuk merdeka--meskipun anak cucunya lebih sibuk bicara tentang hal hebat yang tidak nyambung lagi.

Saya tidak tahu sejauh mana perjalanan hidup kalian, entah kalian kuliah di negeri2 jauh, bertemu dengan orang2 baru, pemahaman2 baru, tapi ketahuilah, mau sejauh mana kaki kalian melangkah, hidup ini tidak pernah bicara soal jargon. Hidup ini bicara tentang kebermanfaatan dan ahklak yang baik. Hanya itu.

*Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar