Membaca halaman depan Koran "Jawa Pos"/"Indo Pos" hari ini, 19 Januari 2015, tergambar dengan vulgar potret media borjuis dalam masyarakat berkelas hari ini. Di "space" paling atas, ada tulisan Dahlan Iskan yang menceritakan liburannya ke luar negeri dan kebebasannya memilih negeri tujuannya berlibur. Di bawahnya ada pemberitaan tentang puluhan orang yang menunggu hukuman mati karena permohonan grasinya ditolak. Kontras dua kelas yang berbeda. Sementara sejumlah besar orang mendekam dalam tahanan, kehilangan kebebasannya, dan merasakan sisa-sisa kebebasan itu perlahan terenggut sebelum menemukan penghabisannya di ujung pelatuk para penembak, sejumlah kecil orang (para elite) menikmati kebebasannya untuk tujuan-tujuan yang sekunder atau tersier, dan mungkin tak merasa perlu berpikir apakah kebebasannya akan membuat iri keluarga para narapidana yang dirundung cemas akan ketidakpastian nasib keluarganya. Mungkin yang terpenting bukan siapa lagi yang akan menulis di "space" teratas -- Dahlan Iskan atau anaknya (toh semua orang tahu bahwa "Jawa Pos" adalah koran "dinasti") -- tapi substansi tulisannya. Sebuah tulisan yang dengan ringan memamerkan kebebasan elitis seseorang di tengah kondisi ketidakbebasan yang membelenggu sejumlah besar orang yang lain.
Apakah ruang sosial/publik berarti ruang yang digunakan untuk tujuan-tujuan sosial/publik, atau sekadar ruang yang diisi oleh anggota masyarakat yang disebut khalayak?
Senin, 19 Januari 2015
Minggu, 18 Januari 2015
Masih tentang Kapolri
Sejak Reformasi, jabatan Jaksa Agung dan Kapolri adalah "centeng hukum" bagi istana. Apalagi setelah terbentuknya KPK, sebuah lembaga superbody yang relatif tak mudah dikontrol baik oleh istana maupun parlemen, fungsi centeng istana itu semakin efektif dan terkonsolidasi. Itu sebabnya kisruh soal jabatan Kapolri yang menyita perhatian kita pada dua pekan terakhir perlu juga dilihat dari sudut pandang tersebut.
Sabtu, 17 Januari 2015
Politik Bola Panas
Presiden menendang bola ke parlemen. Agak meleset. KPK berhasil memotong. Tapi, tak sempurna, dan bola bergulir ke kaki parlemen juga akhirnya. Gocek sebentar, parlemen memberi umpan lambung ke presiden. Dan presiden, yang berdiri di kotak penalti dekat tiang jauh, melakukan tendangan salto.... Goal?! Oh, sh*t! Bola membentur tiang gawang! Dan kembali ke kaki KPK..... [Satu hal yg membuat sedih adalah bagaimana KPK menyediakan diri terlibat dalam permainan yg sama: permainan bola panas politik.] (Farid Gaban)
Jumat, 16 Januari 2015
Praduga Tak Bersalah
Istilah "tersangka" punya makna dan konsekuensi serius di dunia hukum. Tapi, bisa dipahami jika orang menjadi sinis dg istilah itu. Asas "praduga tak bersalah" cenderung hanya diterapkan bagi orang berduit dan berkuasa. Kalau penjahat kecil-kecilan, justru disiksa utk mengaku bersalah. Atau ditembak mati bahkan sebelum jadi tersangka. Polisi seenaknya menembak mati "terduga" teroris. (Farid Gaban)
Kebenaran
Ada kebenaran jurnalistik, kebenaran yg dicapai melalui prosedur jurnalistik. Kebenaran hukum, melalui prosedur hukum. Kebenaran politik, melalui prosedur prolitik/tata negara. Semua bisa bermuara menuju kebenaran yg sama; tapi sering juga berbeda. Itu tak masalah. Yg masalah kalau aparat hukum berselingkuh dg politik, atau mempolitisasi hukum. Atau media berselingkuh dg politik serta aparat hukum (tak peduli itu polisi, jaksa atau KPK). Perselingkuhan jurnalis-KPK bisa sama buruknya dg perselingkuhan jurnalis-polisi dlm operasi kriminal dan terorisme. (Farid Gaban)
Kamis, 15 Januari 2015
Aswaja Berparadigma Global
Muhammad Al-Fayyadl
Dalam sebuah sarasehan Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah) yang diselenggarakan para pemuda dan pemudi Nahdlatul Ulama (IPNU dan IPPNU) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, pertanyaan jenial itu muncul: bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global? Bukan semata-mata karena yang melontarkannya anak-anak muda yang datang dari desa dan latar belakang keluarga santri yang sederhana. Tetapi juga karena pertanyaan itu datang dari sebuah tempat di pelosok, yang cukup jauh dari hiruk-pikuk keriuhan “politik global” – berbeda bila datang dari kalangan mahasiswa atau warga NU yang berada di luar negeri.
Dalam sebuah sarasehan Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah) yang diselenggarakan para pemuda dan pemudi Nahdlatul Ulama (IPNU dan IPPNU) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, pertanyaan jenial itu muncul: bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global? Bukan semata-mata karena yang melontarkannya anak-anak muda yang datang dari desa dan latar belakang keluarga santri yang sederhana. Tetapi juga karena pertanyaan itu datang dari sebuah tempat di pelosok, yang cukup jauh dari hiruk-pikuk keriuhan “politik global” – berbeda bila datang dari kalangan mahasiswa atau warga NU yang berada di luar negeri.
Move On
Meski tak memilih Pak Jokowi (golput), saya tak akan mengejek teman-teman yg selama ini mendukung beliau dg fanatik (bahkan ada yg taktiknya cenderung kasar) tapi lalu kecewa. Politik bukan cuma ttg pesona/kharisma individu. Tapi, tentang kebijakan publik bagi kemaslahatan seluruh warga negara. Presiden cuma satu faktor saja. Dan bukan segala-galanya. (Farid Gaban)
Privatisasi Kesehatan
Kepedulian negara thd kesehatan warga ditentukan oleh seberapa banyak anggaran yg dikeluarkan pemerintah. Menurut WHO, negara harus menyisihkan sedikitnya 5% dari GDP-nya utk kesehatan. Di Indonesia cuma 1,3% GDP; lebih rendah dr Kamboja (2,1%) dan Timor Leste (5,5%). Bahkan di "negeri kapitalis" spt Jepang, Prancis atau Australia, peran publik dlm bidang kesehatan sangat kuat: negara menanggung 75-80% biaya kesehatan warga. Di Indonesia cuma 60% pada 2012, itupun dg kualitas layanan yg rendah. BPJS tidak mengurangi kecenderungan privatisasi itu, malah mendorong privatisasi semakin jauh, mencerminkan kepedulian negara yg makin rendah. (Farid Gaban)
Rabu, 14 Januari 2015
Peribahasa
Nabok nyilih tangan [Jawa] = lempar batu sembunyi tangan [Indonesia] = not taking responsiblity for one's own deeds [English]. (Farid Gaban)
Demi Sensasi
kenapa sih susah sekali orang-orang yang berwenang untuk taat pada prosedur? mengapa para profesional ini tidak menahan diri untuk berbicara kepada pers, untuk sedikit berempati pada keluarga korban? juga insan persnya sendiri, kenapa sering abai atau enggan menguji kembali: apa manfaatnya liputan macam ini bagi kepentingan umum?... (Harry Wibowo)
Langganan:
Postingan (Atom)