Jumat, 25 September 2015

Jangan Dilawan, Dialami Saja

Sebetulnya aku sedikit gamang, apakah persoalan seperti ini harus kupublikasikan? Apakah tidak cukup kutulis untuk diri sendiri?

Tsunami Haji

Ziauddin Sardar, intelektual muslim Inggris, sudah lama meramalkan "tsunami" haji. Ketika jumlah jemaah meningkat, dan ruang terbatas, manajemen haji sangat krusial utk mencegah bencana manusia dan lingkungan. Ketika saya mewawancara Sardar pada 1989, debat luas sedang berlangsung: agar Mekah-Madinah menjadi kota internasional yg dikelola komite muslim dunia. Bukan hanya Kerajaan Saudi dinilai tak mampu, tapi ambisinya menggusur situs2 sejarah Islam juga layak dikecam. Kini Mekah-Medinah sudah "seperti Las Vegas" yg hilang jiwa, tapi tetap dg manajemen amburadul. Ide kota internasional sudah terlambat? (Farid Gaban)

Mekkah

Namanya Juhaiman. Nama itu diberikan oleh Muhammad bin Saif al Utaibi, sang ayah, lantaran ketika lahir Juhaiman kerap menyeringai. Saif lantas memberi nama untuk anak lelakinya yang lahir pada 1936 itu dengan nama “sang pemberenggut.” Dalam bahasa Arab pemberengut adalah Juhaiman.

Serigala

Kadang kita perlu umpan untuk menjebak serigala. Aku ingat perkataanmu itu ketika pada suatu malam kita mengasuh di bawah pohon poplar setelah tujuh malam kita berjalan di hutan, memburu serigala yang katamu adalah serigala jadi-jadian dan telah mengganggu tidurmu selama delapan purnama. Aku kelelahan. Kamu mengutuki diri sendiri.

Kritisisme

Fenomena relawan dalam pilpres 2014 memang mengesankan. Kegairahan kelompok2 civil society maupun individu terhadap pencapresan Jokowi atau Prabowo memang menarik. Namun kita mesti ingat pula, bahwa kegairahan civil society terhadap politik elektoral tak boleh berlebihan, dan tak boleh melampaui jadwal elektoral. Sebab, pasca elektoral, demokrasi memerlukan peran lain dari civil society, yakni kritisisme terhadap penguasa. Ini bukan karena penguasanya buruk, melainkan karena sebaik apapun penguasa, demokrasi akan remuk jika tak ada kritisisme dari civil society. (Abdul Gaffar Karim)

Apakah Kamu Pernah Mengalaminya?

Aku tidak tahu apakah kamu pernah mengalaminya. Tapi aku belum. Baru sekali ini saja. Malam tadi.

Kamis, 24 September 2015

Relawan Adalah Politisi Tanpa Partai Politik?

Dalam politik negara, problemnya bukan soal untung atau buntung, politisi atau bukan politisi, parpol atau bukan parpol; tapi apakah posisi dan jabatan yang diduduki itu legitimate sebagai bagaian dari kekuatan politik yang terorganisir. Premisnya: politik bukanlah perkara kepentingan orang per orang, tapi kepentingan massa yang mampu diorganisir. (Harry Wibowo)

Esensi Kurban

Ada yang terasa mengganjal, setiap kali aku berkurban seekor kambing, padahal aku bukan penyuka kambing. Jika esensi kurban adalah memberikan yang terbaik yang kita cintai, maka secara simbolik kurbanku seharusnya bukan kambing.

Alam dan Krisis

Mengapa orang desa lebih kuat dan lentur menghadapi krisis? Satu jawaban: mereka sudah terbiasa hidup sulit. Jawaban lain: mereka sebenarnya kaya, dlm perspektif lain. Bahkan jika lahannya kecil, mereka bisa menanam pangan pokok, sayur dan buah. Jika tak punya lahan bisa minta tetangga. Atau ke hutan mencari buah liar. Jika tak bisa beli sampo, pake bakaran jerami utk keramas. Gosok gigi pake bata merah. Baju bekas dan sandal jepit tak masalah krn tak ada kebutuhan utk jaga citra. Bisa mandi gratis di sendang/kali jernih. Mencari ranting/kayu bakar utk menanak jagung, membakar singkong atau ikan. Tapi..... harus diakui bahwa kelalaian menjaga kelestarian alam, serta privatisasi lahan dan air, telah pula menggerus modal hidup orang desa belakangan ini. Jika alam rusak, daya tahan mereka terhadap krisis pun merosot. (Farid Gaban)

Berpuasa

Dolar hampir mencium Rp 15.000. Bursa saham meluncur jatuh mendekati 4.000. Meski indikator keuangan memburuk, itu jelas bukan pertanda kiamat. Belajar dr krisis 1998, solusi cepat utk memperbaiki sektor finansial (dg bailout, deregulasi masif, misalnya) justru mewariskan problem jangka panjang. Mungkin pemerintah dan warga Indonesia hrs menelan rasa sakit sementara waktu, dan memikirkan solusi fundamental. Sudah jelas, ketergantungan kita pd modal/pinjaman asing serta pd impor menjadi akar keroposnya fondasi ekonomi negara. Trend itu hrs dibalik. Harus berpuasa. Ekonomi subsisten ala pedesaan, sistem barter, solidaritas dan imajinasi sosial menghadapi kesulitan bersama, bukanlah ide buruk. Bukan pula primitif. Hidup ‪#‎EkonomiBiru‬ ala Dandhy Dwi Laksono! (Farid Gaban)