Jumat, 27 Maret 2015

Andai Saut Situmorang Dipenjara

Andai Saut Situmorang dipenjara, hanya karena ulah kecilnya mengatakan “bajingan!” dalam polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, maka kita akan kehilangan seorang kritikus yang kreatif memainkan “politik performatif” dalam pergaulan sastra Indonesia kontemporer. “Politik performatif”, seperti dianalisis Judith Butler dalam Excitable Speech, adalah suatu politik yang mempermainkan bahasa untuk bereaksi atas perilaku orang lain, dan menjadikan bahasa suatu tindakan politik itu sendiri. Dalam hal ini, Saut melakukan apa yang tidak pernah dilakukan dalam praktik kritik sastra di Indonesia: meleburkan batas antara kritik sebagai “bahasa tinggi” – yang otoritasnya selama ini dijaga oleh para penunggu akademi sastra – dan sumpah-serapah “bahasa rendah”, antara bahasa teori dan bahasa percakapan, antara bahasa diskursif dan bahasa vulgar keseharian.

Pembedaan J.L. Austin, dalam teorinya tentang “tindak-bicara” (speech-act), antara “tindak-bicara ilokusioner” dan “tindak-bicara perlokusioner”, yang ditarik Butler ke dalam rumusannya sendiri tentang politik performatif, dapat memberi gambaran tentang apa yang selama ini terjadi dalam praktik kritik sastra kita, dengan dan tanpa Saut. Tindak-bicara perlokusioner adalah tindak-bicara yang melahirkan efek tindakan, setelah sebuah kata, ungkapan, atau ujaran dilontarkan. Ia adalah suatu tindakan yang melahirkan efek, walaupun efek itu bisa muncul lama sesudah kata itu dilontarkan (atau dituliskan). Sementara, tindak-bicara ilokusioner adalah tindak-bicara di mana lontaran kata-kata adalah tindakan, di mana kata adalah perbuatan, dan perbuatan tersebut adalah efek itu sendiri.

Praktik kritik sastra yang berlangsung di dalam sastra Indonesia, terlepas dari isinya, secara formal hampir selalu merupakan suatu tindak-bicara perlokusioner yang memisahkan efek dari pembicaraan dan memisahkan, sebagai akibatnya, tindakan dari wacana. Kritik sastra berbicara tentang suatu karya sastra atau kecenderungan sastra tertentu, tetapi belum tentu menciptakan efek yang langsung dirasakan oleh pembacanya. Kritik sastra bertugas menciptakan wacana tentang suatu objek sastrawi, tetapi wacana itu belum tentu berpretensi untuk menggiring pembaca bereaksi terhadap objek yang dikajinya. Pembicaraan yang dilancarkan oleh kritik sastra diniatkan untuk membincang objek yang dipilihnya, agar tercipta situasi diskursif di mana pembaca dapat memiliki gambaran, atau setidak-tidaknya bias penilaian, tentang objek itu. Tetapi apakah kemudian pembaca tertarik membaca karya itu dan menelaahnya dengan pikiran sendiri, ataukah pudar ketertarikannya dan urung membaca karya itu, bukan urusan kritik sastra. Kritik sastra hanya mengudar kemungkinan-kemungkinan penilaian tentang suatu karya, seturut bias subjektif kritikus, tanpa peduli apakah kritik itu pada gilirannya berhasil membangun persepsi yang sama di pikiran pembacanya.

Dari bentuknya yang teknikalis (membincang satuan-satuan teknis-filologis dari karya) hingga sublim-filosofis (membincang Gagasan dan kesan-kesan Gagasan dari karya), dari bentuknya yang objektivistik (mempreteli karya hingga unsur-unsur internalnya secara dingin dan berjarak) hingga subjektivistik-impresionistik, kritik-kritik sastra tersebut, karena terikat oleh keharusan menciptakan wacana, masih terbelenggu oleh apa yang pernah diistilahkan Iwan Simatupang sebagai “Kekuatan Abstrak untuk Berkata Tidak”. Kritik itu, dengan kata lain, belum berani mengatakan “tidak”. Kritik itu belum berani menjadi tindakan pada dirinya.

Keterpisahan antara efek dari pembicaraan dan antara wacana dari tindakan itulah yang diretas oleh Saut dengan sarkasmenya terhadap sastra Indonesia dan praktik kritik sastra Indonesia. Sarkasmenya – kita perlu garis bawahi bahwa “konsep” ini juga belum tentu pas untuk menyebut yang dilakukan Saut – menyatukan efek dan tindakan ke dalam kata-kata itu sendiri, menjadikan kritiknya tindakan untuk bereaksi dan memancing reaksi dari pembaca/pendengarnya. Dan inilah “politik performatif” itu: kritik itu diungkapkan dengan lontaran eksplosif yang menyentuh langsung titik afektif pembaca/pendengarnya.

Dalam buku kumpulan esainya, Politik Sastra, Saut mengerjakan politik performatif itu melalui kritiknya yang tanpa basa-basi dan tedeng aling-aling terhadap nama-nama dalam pergaulan kesusastraan Indonesia: Korrie Layun Rampan, Nirwan Dewanto, Budiarto Danujaya, Binhad Nurrohmat, Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Umar Junus, dan para sastrawan Teater Utan Kayu (TUK). Buku esai itu ditutup oleh sebuah rilis penolakan dirinya atas Khatulistiwa Literary Award (KLA) sebagai representasi “sayembara sastra” yang tipikal dari “dekadensi kondisi Sastra Indonesia Kontemporer”.

Nama-nama itu telah sebagian besar atau seluruhnya cukup dikenal dalam pergaulan sastra Indonesia dewasa ini. Tetapi, kritik atas nama-nama itu dikerjakan oleh Saut bukan dalam rangka membangun suatu dialog atau kesepahaman, tetapi membuka suatu titik polemik yang dialektis, sehingga pandangan-pandangan yang dilontarkan oleh nama-nama itu dapat diuji, dibuktikan keliru (falsifikasi), dan pada gilirannya dibongkar asumsi-asumsi politisnya dan kepentingan-kepentingan di baliknya.

Sebelum Saut, mungkin kita tidak sepenuhnya menyadari betapa “berbahayanya” seorang Nirwan Dewanto, karena sosok Nirwan yang tercitrakan kharismatik, bagai “Paus” baru dalam kritik sastra Indonesia pasca-Jassin, dengan ulasan-ulasannya yang terdengar berwibawa dan penilaiannya yang tampak “otoritatif”. Tetapi, berkat Saut, suatu analisis atas komentar Nirwan terhadap buku cerpen pilihan Kompas 1993, telah memperlihatkan problem mendasar dari “kritik” Nirwan Dewanto: kecenderungan hiperboliknya yang tanpa pertanggungjawaban, klaim-klaimnya yang melambung tanpa data yang kuat dan detail, serta kecenderungannya pada mitologisasi lembaga sastra tertentu (baca: Kompas dan media-media besar ibukota). Tanpa ketiganya, sebuah ulasan Nirwan Dewanto tidak memiliki apa-apa layaknya sebuah ulasan yang kurus-kering, dan secara eksplisit Saut mempertunjukkan aspek institusional lain yang juga penting diperhitungkan, yaitu posisi status quo Nirwan dalam hubungannya dengan media (Kompas), lembaga/komunitas sastra (TUK), dan pertemanannya dengan sesama sastrawan yang ia angkat namanya dari lembaga/komunitas sastra tersebut (misalnya, Ayu Utami).

Dalam hal ini, Saut melangkah lebih jauh daripada tipe kritik sastra sosiologis yang menjadi paradigma kritik sastra era 1980-an dan ternyata masih tetap dipakai sebagai paradigma kritik sastra di Indonesia abad ke-21, seperti dilakukan oleh Ignas Kleden, atau Ariel Heryanto pada tahun 1980-an (sebelum Ariel berkonversi dan mengadopsi pendekatan pascastrukturalis pada dekade-dekade sesudahnya). Ignas Kleden adalah contoh tipikal dari kritik ini. Dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Ignas masih berkutat pada pertanyaan-pertanyaan klasik, seperti apakah kritik sastra merupakan kegiatan ilmiah atau suatu kegiatan seni, apakah kritik sastra merupakan suatu kegiatan analitik atau suatu aktivitas artistik. Ketika Ignas masih berputar-putar pada perdebatan tentang mungkin-tidaknya menerapkan suatu analisis “ilmiah” atas karya sastra, Saut telah melangkah jauh dengan mengungkap basis “politis” dari analisis ilmiah itu, dan menunjukkan bahwa seilmiah apapun klaim kritis atas sebuah karya, ia politis, lebih-lebih bila klaim itu pseudo-ilmiah belaka. Keilmiahan suatu kritik, bagi Saut, merupakan suatu konstruksi politis dan ideologis, dan terletak di dalam suatu milieu politis tertentu, tetapi persis pada titik itu, seorang sosiolog yang konon menimba inspirasinya dari Teori Kritis (Mazhab Frankfurt), menjadi tidak kritis atau naif, karena mengabaikan konstruksi dan relasi pengetahuan-kuasa yang membentuk suatu kerja kritik. Kita bisa membandingkan antara cara-baca keduanya dalam mengomentari cerpen-cerpen Kompas: sementara Ignas berbicara tentang perlunya memahami secara hermeneutis cerpen-cerpen Kompas, Saut mengajak pembacanya untuk membongkar terlebih dulu alasan mengapa harus cerpen pilihan Kompas yang dibaca, dan bukan yang lain. Apakah pemilihan cerpen Kompas sebagai objek pembacaan/kritik murni arbitrer, atau dikonstruksi? Dalam arti apa cerpen Kompas, dan pembacaan atasnya, membentuk suatu objek bagi kritik sastra?, dan seterusnya.

Bisa dibilang, bahwa kritik sastra Saut bergerak pada suatu ranah yang baru, dan belum sepenuhnya digumuli oleh para kritikus sastra sebelumnya, yaitu pada level “meta-kritik” (kritik atas kritik). Saut bekerja pada titik di mana kritikus sastra tidak menyadari konsekuensi dari kritiknya, tetapi justru pada titik itu, kritik sastra menjadi tidak kritis lagi — diperalat oleh kekuatan-kekuatan besar di luarnya (modal dan kekuasaan). Seperti Freud, Saut membongkar aspek “nirsadar” dari praktik kritik sastra yang membuat sastra Indonesia mereproduksi wacana-wacana ideologis dan narsistik tentang “eksistensi” dirinya. Dalam hal ini, Saut bekerja pada dua ranah sekaligus: kritik atas politik sastra, sekaligus kritik atas politik kritik sastra.

Andai Saut dipenjara, kita bisa melihat kekuatan apa saja yang “diuntungkan” oleh absennya suara yang konsisten menyoroti politik sastra dan politik kritik sastra itu: rezim kuasa-pengetahuan-modal yang meresapi praktik keseharian dunia sastra Indonesia hari ini, melalui berbagai legitimasinya yang tampak maupun terselubung. Bukan hal yang ganjil, dilihat dari sudut ini, apabila sebuah kritik Ignas Kleden lebih dapat diterima oleh rezim ini daripada kritik Saut Situmorang (Ignas mendapat ganjaran Bakrie Award pada 2003 oleh Freedom Institute atas jasanya di bidang pemikiran sosial dan budaya), karena di dalam kritik Ignas tidak tergambar persinggungan antara kritik sastra yang dilakukannya dengan konteks ideologis-politis di mana kritik itu dibangun, sementara sebaliknya, kritik Saut selalu sadar dan auto-refleksif atas posisi ideologis-politisnya sendiri. Pembacaan yang lahir pun menjadi berbeda: dalam menangani teks-teks “politis”, seperti roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Ignas menghadirkan pembacaan yang non-politis, atau sedapat mungkin, meredam potensi politis dari teks (lihat esainya “Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih”). Sedangkan di tangan Saut, sebuah teks yang apolitis dan kelihatan netral, seperti esai-esai ringan dan remeh-temeh Ayu Utami dalam Parasit Lajang, dapat menjadi teks yang politis.

Suara disiden dalam kritik sastra Indonesia, kritik-kritik Saut memiliki gaya yang khas, norak dan anarkistis; nada tulisannya lantang dan terus-terang tanpa pleonasme, pasemon, atau eufemisme. Namun kita akan keliru bila hanya karena gaya itu kita menuduh dan menempatkan Saut sebagai seorang penebar wicara kebencian (hate speech), atau seorang provokator yang menggunakan argumen ad hominem untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Gaya itu memang mengelabuhi; di balik gaya itu kritik-kritik Saut sebenarnya merupakan ekspresi dari moralisme sederhana yang keluar dari kejengahan atas praktik kotor (dan tak jujur) dalam kehidupan sastra Indonesia kontemporer — suatu moralisme yang berangkat dari kesetiaan akan cita-cita sastra yang terlibat. Di atas kesetiaan itu kita bisa melihat sederet persoalan besar dalam sastra Indonesia — sastra yang belum bebas dari perselingkuhan kuasa dan modal, paternalisme dan patronase, seksisme, mistifikasi sejarah, dan sindrom pascakolonial sebagai bangsa terjajah di hadapan segala yang berbau “asing” dan “internasional”.[]

(Muhammad Al-Fayyadl)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar