Sabtu, 05 September 2015

Agama dan "Pembangunan-Isme"

Foto 1 adalah pastor Nicodemus Rumbayan yang mendampingi umatnya, suku Malind di Merauke, untuk mempertahankan hutan dan tanah mereka dari investasi industri monokultur seperti kelapa sawit dan (sebentar lagi) sawah tekno atas nama pembangunan(isme).


Foto 2 adalah Tuan Guru Hasanain Juaini, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haramain di Lombok Barat. Ia mengembangkan pengolahan sampah sendiri dengan kapasitas 1 ton per hari yang dihasilkan 1.600 santrinya. Ia punya konsep menangani sampah di kota-kota besar di Indonesia dengan biaya seperempat dari yang selama ini ditanggung pembayar pajak.


Foto 3 adalah I Nyoman Sadra, salah satu tokoh desa adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali yang menolak konsep mass tourism (industri wisata massal berbasis investasi). Sehari-hari ia membuka praktik pengobatan akupuntur tanpa mematok tarif. Desa Tenganan juga dikenal sebagai salah satu desa adat yang tanahnya masih utuh (917 Ha) dari ekspansi properti dan perhotelan.


Foto 4 adalah pendeta Samuel Dengi dari Waingapu, pulau Sumba. Setiap pagi ia memberi makan dan merawat sumber energi terbarukan berupa lima ekor babi yang menghasilkan biogas dan pupuk organik. Menjelang siang, ia mendatangi warung langganannya untuk memungut makanan sisa dan digunakan sebagai pakan babi. Zero waste.


Foto 5 adalah Janus, tokoh masyarakat dan penganut agama Marapu yang belum diakui Negara. Ia hidup di perbukitan Desa Kamanggih, Sumba Timur. Ia merintis koperasi yang juga mengelola pembangkit listrik tenaga angin. Koperasinya juga memproduksi pupuk-pupuk organik. Salah satu ajaran Marapu yang dipegang teguh olehnya adalah konsep tanah sebagai milik bersama. Boleh dikelola dan diambil manfaat secukupnya, tapi tak boleh dimonopoli dan dikomersialisasi.


Begitulah wajah agama dalam perjalanan kami yang tinggal empat bulan lagi.

Ekspedisi Indonesia Biru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar