Sabtu, 05 September 2015

Kakek

"Jika kamu menghadapi kesulitan, yang menurutmu tak terperi, selesaikan saja dengan kepala dingin, meski itu akan mensyaratkan kesabaran dan pengorbanan yang tak sedikit. Biasanya, kesulitan-kesulitan semacam itu adalah anak tangga menuju kemuliaan. Kalau berhasil melewatinya dengan baik, kebaikan-kebaikan yang lebih besar akan segera menghampirimu."

Nasihat itu pertama kali saya peroleh dari almarhum kakek, dua puluh empat tahun silam, ketika kami sedang berbincang mengenai kehidupan orang dewasa. Meski tak pernah mengecap bangku sekolah, menurut saya ia adalah guru yang baik. Tak heran, ia selalu dijadikan tempat bertanya oleh banyak orang. Dan pergaulannya juga sangat luas.

Ia bisa sangat detail bercerita mengenai Adam Malik, termasuk ketika si bung itu menawarinya untuk bekerja kepadanya. Hanya, karena nenek tak mau tinggal di kota, tawaran itu, dan tawaran-tawaran sejenis lainnya, dari nama-nama yang tak kalah mencorong di masa lalu, kemudian ditampiknya. Ia memilih hidup di desa sebagai petani gurem.

Ketika saya beberapa kali pernah menanyakannya, apakah pertimbangannya hanya itu, ketika ia menampik tawaran-tawaran tadi, ia akan tersenyum. "Kakekmu ini tidak sekolah. Dan itu ternyata bisa mengalahkan banyak keberanian. Makanya kamu harus sekolah."

Saya masih ingat, sekira berumur enam tahunan, desa saya yang terpencil itu didarati oleh sebuah helikopter. Tentu saja itu memunculkan kehebohan dan jadi tontonan orang sedesa. Dan orang yang naik helikopter itu adalah tamu kakek.

Sejak perbincangan hari itu, hingga akhir hayatnya, kakek melakukan tirakat. Ia tak makan nasi, ikan, daging, dan sejenisnya. Ia hanya makan sayur dan buah-buahan, itupun hanya dua kali sehari. Meskipun begitu, ia masih sanggup bekerja keras belasan jam setiap harinya. Ia memang pekerja keras.

Ia memang bukan santri, tapi saya tahu persis ia orang yang sangat religius. Ia pernah menawari saya untuk mondok di Jombang, menjelang saya lulus sekolah dasar, namun karena saya masih gentar jika sekolah terlalu jauh, tawaran itu ditariknya.

"Semakin kamu besar, semakin berkurang pengetahuan yang bisa aku ajarkan padamu. Aku juga bukan orang kaya, sehingga tak akan ada yang bisa kuwariskan untukmu. Aku hanya bisa mengiringimu dengan doa."

Dan tirakat itu, katanya, adalah bagian dari doanya untuk saya, agar saya selalu dihampiri kebaikan dan keselamatan.

"Orang tua itu, sewaktu masih hidup adalah 'jimat' (bagi anak-anaknya), dan ketika sudah mati, jadi 'keramat'. Doa mereka adalah pusaka," ajarnya.

Saya hanya senyum-senyum kecil saja mendengar wejangan dan ikrarnya petang itu. Kakek duduk bersila membelakangi saya, sementara saya duduk di atas jengkok, kursi kayu pendek, sembari mencabuti ubannya. Itu ritus yang rutin kami lakoni tiap petang, sesudah kakek pulang dari empangnya yang jauh di pedalaman sana.

Kelak, jika mengingat lagi percakapan hari itu, kelopak saya selalu rembes oleh air mata. Tirakatnya berakhir ketika ia berpulang pada sebuah rembang petang, ketika saya duduk di bangku kelas satu sekolah menengah atas.

Ketika abah menjemput saya ke kontrakan, petang itu, saya persis baru saja akan mandi. Dan sayapun akhirnya mandi sembari bercucuran air mata, dengan isak yang tertahan. Itu kehilangan yang sangat memukul saya.

"Kesulitan-kesulitan pasti selalu datang sebelum kamu dihadiahi kebaikan." Nasihat yang sama persis itu tak dinyana kembali meluncur Ramadhan lalu, kali ini dari mulut abah.

Dan nasihat itu kembali mengingatkan saya pada kakek. "Hirup, upama teu peurih, moal peurah," begitu ujarnya, ketika kami sedang mendengarkan sebuah kaset wayang golek yang mengisahkan lakon Jabang Tetuko.

Ya, setiap kali sedang menghadapi kesulitan, saya selalu teringat kembali pada nasihat kakek itu, dan dengan begitu jadi teringat kembali kepadanya. Jika itu terjadi, saya hanya bisa menundukan kepala dan terbata-bata mengirimkan doa untuknya. Al Fatihah.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar