Selasa, 22 September 2015

Kaliurang

Aku berdiri di halaman sebuah rumah yang berbatu di Kaliurang, menyaksikan kembang-kembang boegenville yang kering diseret angin ke mulut perigi yang tak berair. Aku seperti mendengar rima. Serupa suaramu saat kita bersanggama di bawah palma merah. Angin dan daun-daun kering di Kaliurang memang bukan bencana, tapi di halaman rumah yang berbatu sore ini, aku melihatmu berlari dari hutan basah yang terbakar.

Tak ada matahari sekarang. Langit gelap di atas tanahmu bukan awan. Petrikor, semerbak tanah yang dijilati hujan pertama itu hanyalah mitos anak perawan yang kangen dicium pacarnya. Engkau terus berlari melintasi gambut dan rawa ketidakberdayaan. Rambutmu tak lagi wangi kembang meranti lilin. Susumu kempis seperti ban sepeda kehabisan angin. Dan sebab menghirup arang yang mengambang di atas huma, paru-paru anakmu bernanah, dan tak mendapat obat di Puskesmas.

Orang-orang itu lalu berkata, manusia memang memeluk kesepian dan ketakutannya masing-masing. Dan demi kesejahteraan bersama dan nasib yang lebih adil mereka mengirimkan mesin. Meratakan berjuta-juta hektar tajuk pohon alam. Suaranya menelan sahutan bajing, burung beo, punai dan ciung. Menyingkirkan tumpukan daun bungur dan mersawa yang kering ke dalam tanah industri. Siapa yang sejahtera, siapa yang merana tentulah bukan urusanmu. Bencana bagi mereka hanya soal statistik dan matematika toko kelontong. Negara adalah milik bersama, tapi kau tak usah bertanya bersama itu siapa saja.

Sore ini aku berdiri di halaman rumah berbatu di Kaliurang. Aku melihatmu di antara kembang-kembang bougenville yang kering yang diseret angin ke tepi perigi tak berair. Engkau adalah perempuan yang berlari dari hutan basah yang terbakar.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar