Rabu, 07 Oktober 2015

Cimol

Aku menjumpai laki-laki muda itu pada sebuah sore di seberang jalan Kantor Polresta Pasuruan. Rambutnya setengah gondrong. Kulitnya hitam. Perawakannya tidak tinggi dan tidak pendek. Dia duduk di sebelahku sembari mengepulkan asap kreteknya saat aku menikmati segelas es kelapa muda. Dari wajahnya aku tahu dia lelah, tapi dia tetap menyedekahkan senyum padaku. Giginya yang setengah kuning terlihat berbaris seperti sepasukan tentara yang mendengarkan komandannya berpidato.

“Itu dagangan, milikmu atau punya juraganmu?”
“Alhamdulillah punya saya Pak.”

Laki-laki muda itu adalah penjual cilok, aci dicolok. Penganan yang terbuat dari sagu lalu digoreng dicampur telur dan dicolok menggunakan tusuk sate. Aku melihat satu sepeda motor butut yang di bagian belakang joknya dipasang semacam gerobak berkaca, diparkir di sebelah gerobak pedagang kelapa muda. Di bagian tengah sisi kiri gerobak itu terpasang alat masak yang mirip alat cetak kue pukis tapi dengan lubang-lubang yang jauh kecil. Di sisi kanan gerobak ada penggorengan kecil. Di bagian tengah terlihat aneka saus, tusuk sate, serbet dan lain-lain.

“Sehari habis telur berapa kilo?”
“Enam kilo Pak.”
“Telur sebanyak itu menghasilkan berapa duit?”
“Dari pagi sampai sore 600 ribu.”
“Lumayan juga ya? Terus yang dibawa pulang berapa?”
“Tiga ratus ribu Pak.”
“Wuih gaji wartawan di Jakarta kalah sama penghasilanmu.”
“Alhamdulillah Pak.”

Semua berawal dari kejadian 10 tahun lalu, saat dia baru bersekolah di bangku kelas 1 SMP. Kemiskinan dan ketidakmampuan orang tuanya membiayai sekolah memaksanya meninggalkan bangku sekolah dan kotanya di Malang selatan. Dia ikut seorang tetangganya yang berdagang cimol di Pasuruan. Menjadi pembantu selama dua tahun, sebelum juragannya kemudian bangkrut. Sejak itu dia berusaha berjualan cimol sendiri.

Bermodal sepeda motor butut dan uang dari upahnya selama ikut tetangganya yang bangkrut, dia mulai berjualan ke sekolah-sekolah, di halaman masjid dan alun-alun Pasuruan. Ketika pelanggannya semakin banyak, dia memutuskan hanya berjualan di samping Pendopo Kabupaten dan di seberang jalan Polresta Pasuruan.

“Pagi sampai siang saya di Pendopo. Siang sampai sore saya di sini.”
“Semua masak sendiri?”
“Iya Pak. Semua buat sendiri.”
“Banyak pesaingmu?”
“Ada dua Pak, tapi orang-orang tahu, cimol saya yang terbaik.”

Sore itu di seberang jalan Polresta Pasuruan, beberapa kali dia meninggalkanku untuk melayani pembeli. Bukan hanya anak-anak tapi juga ibu-ibu pegawai, dan anak-anak muda. Tangannya cekatan memasukkan aci ke dalam cetakan, menaburinya dengan cairan telur, menusuknya dengan tusuk sate, lalu memasukkannya ke kantong plastik kecil dan membumbuinya dengan saus.

“Saya pulang ke Malang sekali sebulan. Menjenguk ibu dan adik.”
“Hanya sebulan sekali?”
“Iya, kecuali ada pertandingan Arema.”
“Kalau Arema main pasti pulang?”
“Pasti Pak. Tim kesayangan.”
“Uangmu ditabung?”
“Iya Pak di BRI.”

Dia mengisap dalam-dalam kreteknya. Senyumnya tak lepas dari bibirnya. Aku seperti melihat wajah yang dilumuri kesentosaan.

“Sekarang usiamu berapa?”
“Dua puluh tiga Pak.”
“Ndak punya rencana menikah?”
“Punya Pak.”
“Kapan rencananya?”
“Belum Pak. Pacar saja belum punya.”
“Kenapa?”
“Saya harus membiayai adik saya kuliah terlebih dulu Pak. Saya tak ingin dia bernasib sama seperti saya. Dia harus jadi orang pintar, tidak jadi orang bodoh seperti saya.”

Mendadak es kelapa muda yang aku minum seperti terasa tak mampu melegakan bagian dalam batang leherku. Mendengar penjelasannya soal membiayai kuliah adiknya dan mengirimkan uang pada ibunya, aku mendapati diriku sudah tidak relevan untuk meneruskan bertanya. Tenggorokanku tercekat bahkan sekadar untuk menanyakan namanya.

Di mobil dalam perjalanan ke arah barat dari Pasuruan menuju Bangil, wajah ibu-bapak, anakku, istriku, adik-adikku silih berganti membayang di kaca depan mobil yang tempias oleh cahaya matahari sore. Seperti mozaik gambar bioskop. Aku memang bukan siapa-siapa dibanding laki-laki muda penjual cimol asal Malang selatan itu. Laki-laki muda yang hebat, yang aku kira banyak malaikat yang mendoakannya sebagai penghuni surga.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar