Rabu, 07 Oktober 2015

Langgar

Rasanya aku baru tidur sebentar. Tidur di dalam sebuah langgar berwarna hijau, dengan karpet yang hangat dan bersih. Tubuhku mendekati tembok, tak menempel, dengan jendela besar di sisi kananku.

Aku sempat bingung ketika hendak memutuskan membujurkan tubuh ke arah mana. Kalau kepala kuletakkan di arah timur dan kaki di barat, rasanya tak sopan kaki ini mengarah ke bagian kiblat. Kalau kuletakkan sebaliknya, aku khawatir sepasang mataku terganggu ketika matahari terbit. Rasa capek tapi sekaligus jarang tidur, membuatku sensitif terhadap cahaya matahari. Kalau kepalaku kuletakkan di bagian utara dan kaki di bagian selatan, aku melihat Rus dan Cak Aam tidur berdampingan menghadap ke barat, artinya, kakiku mengarah ke tubuh mereka. Pose tubuhku tak seragam dengan pose tubuh mereka. Akhirnya kutetapkan meletakkan kepala di timur. Sama dengan pose mereka.

Aku teringat langgar kecil di masa kecilku dulu. Langgar dengan dinding kayu dan lantai semen. Aku suka sekali tiduran di lantai itu. Aku masih bisa mengingat dengan baik bau ruang langgar, campuran antara lantai semen, kayu, kertas kitab-kitab yang menua, dan sarung-sarung yang bergelantungan di pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan. Langgar bukan hanya tempat ibadah dan belajar mengaji, tapi juga tempat bermain. Aku berlatih main kartu judi di langgar, belajar membuat bola sepak takraw, tempat mengumpul sebelum dan sesudah mencari belut di malam hari. Kini, langgar di kampungku sudah bersih dan kinclong. Bertembok. Aku tak tahu apakah masih ada anak-anak kecil yang berkejaran di dalamnya sambil teriak-teriak, tertawa dan gembira. Juga kadang menangis kesakitan karena dijewer Pak Kiai.

Dan aku terlelap...

Hingga kemudian dikejutkan oleh suara orang menangis dan tersengal. Aku bangun. Menoleh ke samping, tak ada Rus dan Cak Aam. Aku segera keluar...

Di teras rumah Cak Aam, Rus menangis. Menangis? Ada apa? Pak Mathari dan istrinya, juga beberapa keluarga besar Cak Aam mengelilingi Rus. Sementara Cak Aam memegang gelas berisi air putih. Sesekali dia komat-kamit membaca sesuatu. Meniup ke air di dalam gelas. Meminumkan pelan ke mulut Rus yang terguguk.

Aku melihat jam tangan, belum setengah tiga dinihari. Berarti aku baru tidur kurang dari sejam.

Ada apa, Pak? Aku bertanya ke Pak Mathari.

"Kata Aam, Rus melihat sesuatu di langgar..."

Bulu kudukku merinding. Aku duduk bersila di teras. Gelas di tangan Cak Aam diguyurkan ke kepala Rus. Kini giliran Pak Mathari memberi doa. Lalu dia meniup ubun-ubun laki-laki yang di bulan Februari tahun depan itu berencana akan menikah.

Perlahan nafas Rus berangsur tenang. Dia tak lagi menangis. Ibu Cak Aam mengulungkan handuk kecil. Rus kemudian mengeringkan kepalanya. Kakak perempuan Cak Aam membawa senampan berisi cangkir-cangkir kopi.

Cak Aam duduk di sampingku, lalu dia bercerita:

"Aku sebetulnya belum tidur ketika Rus bangkit. Kutanya mau ke mana, dia bilang mau kencing. Balik dari kencing, dia tidur lagi. Belum ada satu menit, dia teriak-teriak menangis sambil memelukku. Aku kaget sekali..."

Aku melihat ke arah Rus. Dia sudah menyeruput kopinya. Menyalakan kreteknya. Keluarga besar Cak Aam masih tetap meriung di teras rumah.

"Aku tanya ada apa, Rus? Dia hanya bilang melihat seorang nenek tua di jendela kaca..."

Jendela kaca yang mana? Tanyaku cepat.

"Persis di samping tempat kamu tidur."

Mungkin di saat itu mukaku langsung pucat. Tapi aku benar-benar merinding.

"Aku mau bangkit mendekati jendela kaca itu tapi Rus memelukku makin kencang sambil menangis makin keras. Ya sudah, semua keluargaku bangun. Lalu kami bawa ke sini."

Untuk menenangkan diri, aku menyeruput cangkir kopiku.

Pak Mathari yang duduk tak terlalu jauh dariku tiba-tiba bertanya, "Adik mau melanjutkan perjalanan ke mana?"

Aku diam sejenak. Rasanya tidak enak untuk menjawab belum ada isyarat dan 'arahan' aku harus ke mana. Kujawab saja: Ke Timur, Pak...

"Ke Banyuwangi?"

Aku mengangguk tak yakin.

"Ke Baluran atau Macan Putih?"

Aku kaget. Kenapa Pak Mathari tiba-tiba bisa mengira begitu? Rupanya dia tahu apa yang ada di kepalaku.

"Mungkin dua puluh tahun lalu, ada kejadian mirip ini, Dik. Mirip sekali. Tiga orang datang naik mobil. Menginap di langgar ini. Lalu salah satunya menangis karena melihat sosok nenek tua di langgar itu. Bedanya, dulu langgar itu belum ada kacanya. Tapi sebuah jendela besar."

Aku merinding.

"Laki-laki yang menangis itu diberi tahu oleh Nenek tersebut agar tidak melanjutkan perjalanan ke Baluran. Tapi salah satu di antara mereka bersikukuh untuk melanjutkan. Akhirnya mereka tetap melanjutkan perjalanan. Anda boleh percaya boleh tidak, menjelang masuk Baluran, mobil itu hilang seminggu. Seminggu kemudian, mobil itu ditemukan di pinggir jalan. Untung ketiga orang itu selamat. Mereka seperti hanya tertidur. Saya tulis kejadian itu di koran."

Rus bangkit. Dia datang mendekati kami bertiga. Lalu duduk di dekatku. "Mas, besok kita pulang, ya..."

Aku diam. Serba salah. Kalau aku jawab tidak mau pulang, situasi tak memungkinkan. Kalau aku jawab pulang, sepertinya perjalanan ini jauh dari usai.

"Mas, nenek tadi menyuruhku balik."

Balik ke mana?

"Ya balik, Mas. Mungkin ke Pasuruan. Mungkin ke Yogya."

Kamu kencing di mana, Rus? Tiba-tiba aku bertanya tentang sesuatu yang tidak kusadari akan kutanyakan. Seperti keluar begitu saja. Semua orang yang berada di teras rumah itu seperti terkejut dengan pertanyaanku.

Wajah Rus memerah. Pelan dia menjawab, "Di samping langgar."

Bukan di kamar mandi?

"Enggak, Mas. Aku sudah sangat kebelet kencing."

Di rumpun melati itu? Tanyaku. Aku tetap kaget dengan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya tak bisa kukendalikan.

"Iya, Mas."

Lain kali jangan diulang.

"Iya, Mas."

Cak Aam menggaruk-garuk kepalanya. Pak Mathari menyedot kreteknya dalam-dalam.

"Ya sudah. Nanti kita ke Surabaya. Kamu naik kereta balik ke Yogya. Cak Aam mau tinggal di sini dulu?"

"Enggak. Aku ikut sampai Surabaya juga. Lusa aku terbang ke Jakarta."

Malam itu kami melanjutkan tidur di sebuah dipan yang mestinya untuk dua orang. Rus ndusel di tengah-tengah kami. Berkali-kali tubuh ceking Cak Aam hampir jatuh ke lantai, terdesak oleh tubuh Rus yang beratnya hampir sekwintal.

Pagi harinya, aku yang menyetir mobil. Menyusuri kembali jalan yang kemarin kami lalui. Kali ini menuju Surabaya.

Sampai di Surabaya, masih pukul dua siang. Aku menitipkan Rus ke Don yang kebetulan sedang meliput di dekat Stasiun Gubeng, memasrikan Rus pulang ke Yogya naik kereta api. Lalu mengantar Cak Aam ke salah satu hotel di Jalan Mayjend Sungkono.

Sementara aku menuju ke sebuah hotel kecil favoritku jika berada di Surabaya. Namanya Hotel Weta.

Aku benar-benar lelah sekali. Fisik dan pikiran. Aku hanya ingin tidur. Tidur yang nyenyak dan lama.

Tapi baru terlelap sebentar, gawaiku menyalak. Pesan dari sahabatku. Dia ingin bertemu malam ini.

Aku mengiyakan. Kulihat jam di gawai, baru pukul 5 sore. Masih ada cukup waktu untuk tidur. Aku mencob merem lagi. Tapi langsung tak bisa tidur begitu ingat: gawai kumatikan ketika aku mau tidur karena tidak mau diganggu apapun. Bagaimana ceritanya sehingga gawai itu bisa menyala?

Aku mengecek gawaiku lagi. Gawai itu mati. Lalu bagaimana tad aku bisa membaca pesan dari sahabatku dan aku bisa menjawab pesannya?

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar