Jumat, 02 Oktober 2015

Latah

Pria tua itu bernama Pak Sukis. Aku menjumpainya di kantin sebuah instansi pemerintah di sebuah kabupaten di Jawa Timur pada suatu siang yang terik, lima hari silam. Pak Sukis dianggap lucu oleh para pegawai yang nongkrong di kantin itu sebab dia latah atau pura-pura latah. Setiap kali seseorang berseru dengan keras atau menepukkan telapak tangan dengan keras, maka Pak Sukis akan menyerukan sebuah kata: turuk. Itu adalah istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut pukas, kelamin perempuan.

“Duar...”
“Eh turuk...”

Pak Sukis menyerukannya dengan suara [yang tak kalah] kencang. Dan dia akan melanjutkan dengan menyebut sebuah adegan oral seks, apabila orang-orang di kantin bertanya: untuk apa, digunakan apa. Aku mendengar para pegawai yang di siang itu berterbaran di kantin kantor, berkali-kali menggoda Pak Sukis dan berkali-kali pula Pak Sukis meminta orang-orang itu mengakhirinya.

Sesudahnya orang-orang itu akan tertawa. Menertawakan Pak Sukis, tapi menurutku, orang-orang itu sebetulnya sedang menertawakan hidup mereka. Hidup yang diselimuti ketakutan dan kepura-puran dan pada Pak Sukis yang latah, mereka melampiaskan semua kekesalan hidup mereka. Siapa yang latah, pura-pura latah, dan tidak latah lalu menjadi tak jelas. Dan di media sosial seperti Facebook atau Twitter, ketidakjelasan siapa yang latah, pura-pura latah dan tidak latah semacam itu bisa dengan mudah dijumpai. Salah satunya adalah aku, yang hampir setiap hari menumpahkan semua kelatahanku menjadi status atau kicauan.

Maka suatu hari aku akan menulis status tentang sebuah isu yang menyedot perhatian orang banyak agar aku dianggap tidak ketinggalan informasi. Dianggap intelek. Punya pergaulan luas dan membaca banyak kitab. Di lain waktu aku akan mengomentari status yang ditulis orang lain agar aku dianggap peduli. Penuh perhatian dan lain-lain.

Aku sungguh latah, tidak jelas, dan sebetulnya hanya lebih beruntung dari Pak Sukis yang latah yang [mungkin] setiap hari digoda para pegawai di kantin itu, yang dijuluki sebagai “Pak Sukis turuk.” Tapi aku dan orang-orang yang menggoda Pak Sukis, sebetulnya tak berbeda dengan Pak Sukis. Mungkin sesungguhnya malah sama: latah dan sama-sama tidak beruntung.

Status yang kutulis ini pun sesungguhnya juga latah. Status kere yang tidak jelas yang aku harapkan bisa mendapat perhatianmu. Syukur-syukur, engkau akan menganggapku sebagai orang intelek dan penuh kepedulian. Kalau pun tidak, mudah-mudahan engkau bisa terhibur dan tertawa karena menganggap diriku dan statusku sungguh konyol. Dan bila tidak juga, tolong kejutkan aku, agar aku bisa segera menulis kata-kata yang selalu diulang-ulang oleh Pak Sukis bila dia terkejut: turuk itu.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar