Sabtu, 10 Oktober 2015

Pernikahan Binatang

Aku menghubungi Don. Dari seberang dia menjawab, usai menyunting tulisan untuk korannya yang akan terbit besok, dia ada rapat sebentar, lalu akan meluncur ke tempatku berada.

Aku memesan lagi secangkir kopi. Juga sebatang cerutu yang dipajang di etalase kafe itu. Tidak terlalu kupikir untuk apa. Diisap tentu saja. Walaupun sebetulnya aku tak terlalu bisa menikmati cerutu. Tak terlalu ingin. Rasa iseng yang tak penuh.

Lalu di kepalaku berkelebat hampir semua bayang-bayang yang sekian hari kualami. Perjalanan. Mimpi-mimpi. Batas-batas yang tak begitu jelas. Ambang. Jalanan yang bergelombang. Juga orang-orang. Salim Kancil. Pak Mathari. Cak Aam. Rus yang menangis tersedu. Juga tempat-tempat. Terutama yang urung kudatangi. Malsari. Selok Awar-awar. Baluran. Maputih.

Baluran... Savana yang membentang. Dari sekian kisah tentang Baluran, mungkin hanya kisah Pak Mathari yang paling menarik. Setidaknya, sepanjang karirnya sebagai seorang jurnalis, dia sudah meliput 5 kali taman nasional di ujung timur Pulau Jawa itu. Setidaknya ada dua peristiwa sangat membekas baginya. Pertama adalah ketika dia menemani Raja Jordania berburu di Baluran bersama Adam Malik yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Kedua, ketika dia mendapat berkah bisa menyaksikan apa yang sering disebut para petualang alam terbuka sebagai 'pernikahan binatang'.

Alam sunyi. Mentari teduh. Langit tak merah benar. Kersik savana terasa lembut. Kemudian satu per satu, sapi-sapi berdatangan. Mereka duduk setempoh. Tak ada suara. Kemudian kijang-kijang berdatangan. Ndeprok. Bersimpuh. Burung-burung turun. Macan-macan datang. Akhirnya berbagai jenis binatang datang. Di saat seperti itu, tak ada satu binatang mengganggu binatang yang lain. Semua seperti takzim. Esok hari boleh saling mengejar dan memangsa sesuai hukum rimba. Tapi tidak untuk hari seperti ini.

Lalu iring-iringan panjang datang. Serombongan kijang yang tertib. Dua kijang penuh cahaya berjalan berdua. Merekalah pasangan pengantin itu. Kedua kijang itu lalu seperti menari. Bercengkerama dengan indah. Berkejaran dalam langgam yang pelan. Mulut mereka lalu mencabuti rerumputan panjang dan lembut. Merangkai sesuatu. Kemudian jadilah seperti sebuah mahkota dari dedaunan. Kijang yang satu kemudian memasangkan mahkota rerumputan itu ke kepala kijang lainnya. Demikian sebaliknya. Tak lama kemudian matahari turun. Binatang-binatang itu tinggal seperti bayang-bayang. Satu persatu lalu bergerak, meninggalkan tempat pesta dengan anggun. Ditelan dalam gelap. Tak ada suara. Hanya angin lembut. Juga kersik savana yang lembut.

Pernikahan binatang itu terjadi di bulan Agustus sampai Oktober. Selama tiga bulan itu, mungkin ada 5 atau 6 pernikahan binatang. Tidak selalu kijang. Kadang juga macan. Kadang banteng. Tapi orang-orang harus punya kesabaran ekstra kalau ingin menyaksikan itu. Bersiap menjelajah dan menunggu.

Kalau peristiwa itu disebut mitos, ada banyak yang telah menyaksikannya. Ada foto-fotonya. Kalau disebut nyata, susah rasanya memahami bagaimana hal itu bisa terjadi. Ada peradaban semacam pernikahan di kalangan binatang.

Aku tak terlalu memusingkan itu semua, tapi aku sungguh ingin menyaksikannya suatu saat. Aku kira, aku cukup punya kesabaran menjelajah taman nasional itu selama 3 bulan, dan menunggu. Kalau pun toh aku tak bisa menyaksikannya, aku punya pengalaman menunggu sesuatu selama tiga bulan. Aku kira itu juga pengalaman yang penting.

Tapi sayang, aku urung ke Timur. Urung menunggu. Urung menyaksikan mahkota dari rerumputan yang dirajut oleh mulut binatang, lalu disematkan ke pasangannya.

Don menelepon. Mengabarkan kalau dia sudah di depan hotel. Aku bangkit membayar, lalu keluar.

Mobil melaju pelan. Jarang sekali Don tak mengebut jika menyetir mobil. Mungkin dia satu-satunya yang pernah menempuh jarak Yogya-Surabaya kurang dari 5 jam, dan sialnya, aku salah satu penumpang malang yang pernah menyaksikannya. Dalam kurun hampir 5 jam itu, semua pengalaman berimpitan. Mulai dari saling sumpah sesama sopir, hampir ditilang 5 kali tapi selalu tak jadi begitu para polisi tahu 4 dari 5 orang di dalam mobil itu adalah para jurnalis kecuali aku, dan 2 kali serempetan. Mobil Don adalah mobil yang sangat khas. Dia sudah ganti mobil 3 kali, dan ciri khasnya sama, bagian sisi depan kanan kiri, penuh goresan karena seringnya serempetan. Tapi mobil begitu bagiku indah. Seperti seorang laki-laki dengan wajah belas jerawat.

Jendela mobil kubuka. Don merokok. Dia memutar lagu 'The Spirit Carries On'-nya Dream Theater. Lagu yang indah, mencekam, sekaligus tabah dan optimistik. Setiap kali usai, aku minta diputar lagi. Dan lagi. Dan lagi. Hingga kemudian mobil berhenti di penjual pecel dinihari di daerah Wage, Sidoarjo.

Kami makan tanpa banyak bicara. Di tempat ini, bakwan jagungnya paling enak nomor dua di dunia. Sedangkan yang nomor satu dibuat oleh almarhumah tetanggaku.

Usai makan, Don mengantarku balik ke hotel. Di sepanjang jalan, dia hanya sempat berkabar kalau dalam waktu dekat akan dikirim korannya ke Amerika.

Meliput apa? Tanyaku ada pada ambang antara rasa ingin tahu sekaligus tak ingin tahu. Tapi keluar juga pertanyaan itu.

"Meliput bisnis esek-esek."

Jauh amat, balasku pendek.

Tiba-tiba lampu gawaiku berkedip cepat. Siapa malam-malam begini mengirim pesan? Sahabatku.

"Datanglah ke Samigaluh."

Samigaluh mana?

"Samigaluh mana yang kamu kenal?"

Aku gak kenal daerah Samigaluh.

"Samigaluh mana yang kamu tahu?"

Kulonprogo. Kalau tidak salah.

"Ya pergilah ke sana."

Kamu menyuruhku pulang ke Yogya?

"Siapa yang menyuruhmu pulang ke Yogya? Kalau kamu mau, datanglah ke Samigaluh."

Itu artinya aku balik ke Yogya.

"Ya terserah. Aku hanya membantumu menemukan apa yang kamu cari."

Aku tak mencari apa-apa. Aku tak mau pulang ke Yogya.

"Tidak mengapa."

Tepat di saat itu, mobil Don berhenti di depan pintu hotel. Aku mengucapkan terimakasih. Lalu dengan hati tak menentu menuju kamar.

Begitu tiba di dalam kamar, aku menata barang dan pakaian. Sesaat menjelang Subuh, aku sudah sampai daerah Saradan. Naik mobil seorang diri. Di malam hari. Dengan jarak yang boleh dibilang tak dekat. Dalam kecepatan yang sebelumnya tak pernah berani kulakukan.

Semua terjadi sebagaimana memang harus terjadi. Hutan-hutan yang kulewati terasa hangat. Sampai Ngawi, hujan turun lagi.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar