Senin, 02 November 2015

Bola

Peluit panjang itu telah dibunyikan. Kalah, dan tak ada duel ulang.

Saya tidak kaget ketika harian Bola memberikan pengumuman bahwa edisi 31 Oktober adalah edisi terakhir koran tersebut. Sejak awal memutuskan menjadi harian, saya percaya Bola sedang menggali lubang kuburnya sendiri. Ia memutuskan menjadi harian - setelah sebelumnya dua kali lantas tiga kali seminggu - tepat ketika blog-blog dan banyak web sepakbola sedang tumbuh subur. Mengutip Viriya Paramita, bagaimana keputusan ini muncul justru di era kala bangun pagi yang pertama kita buka adalah situs livescore? Ironisnya lagi, webnya pun tidak digarap dengan sentuhan yang lebih ramah bagi pembaca digital.

Edisi terakhir Harian Bola

Sejak terbit harian itu pula saya memutuskan berhenti total membacanya. Sederhana alasannya. Informasi-informasi yang ada di dalamnya sering sudah tidak relevan dengan kebutuhan saya mencari berita-berita sepakbola. Saya bisa mendapatkan kecepatan, sekaligus kedalaman, dengan mengakses berbagai web sepakbola. Kalau butuh kedalaman, misalnya, cukup menyimak tulisan Darmanto Simaepa, Mahfud Ikhwan, Zen RS, atau Eddward S Kennedy.

Bagaimanapun juga, buat saya, ini adalah kekalahan yang menyakitkan. Saya tumbuh besar bersama Bola. Kalau dirunut trajektori awal bacaan saya, pertama adalah Bobo, dan kedua, tentu saja Bola. Saya sepakat dengan Ardi Wilda Irawan yang bilang bahwa jasa terbesar Bola tidak hanya menghadirkan informasi-analisis tentang sepakbola, tetapi lebih dari itu. Bagi generasi 90-an, ia menumbuhkan minat baca. Dan buat saya personal, minat menulis.

Di awal tahun 1998, seorang tetangga saya yang supir truk, mengenalkan saya pada Bola. Saya masih mengingat edisi pertama yang saya baca. kovernya Alex Del Pieor (saat itu Juventus akan melawan Udinese), rubrik Halaman Tiga ditulis Sumohadi Marsis tentang Bernie Ecclestone, seorang mogul penguasa Formula 1. Mula-mula saya (meminta tolong Bapak) hanya membeli edisi Jumat karena di hari itu banyak preview pertandingan di akhir pekan, sementara edisi hari Selasa berisi review.

Lama-kelamaan saya kecanduan membaca dan sekali lagi meminta Bapak untuk berlangganan edisi Selasa-Jumat yang datang setiap Senin-Kamis sore. Di kesempatan pertama saya melihatnya, saya langsung membacanya sampai tuntas. Dan kecanduan semacam ini saya kira berbahaya juga, seperti kecanduan-kecanduan yang lain. Misalnya kecanduan agama yang bikin orang jadi fanatik. Saya sering menangis -bener-bener menangis, dan jengkel, kalau loper koran langganan tidak mengirim Bola tepat waktu. Maklum masih anak SD, hehehe.

Imajinasi saya tentang dunia -Bukan hanya sepakbola, banyak dipengaruhi Bola. Sebagai contoh misalnya pelajaran tentang sejarah sebuah kota, identitas klub, gosip pemain-pasangannya, dan sebagainya. Saya belajar banyak dari rubrik TTS, dan terutama analisis-analisis Sumohadi Marsis, Rayana Djakasurya, juga Rob Hughes.

Salah satu cara saya belajar adalah mengumpulkan edisi-edisi tertentu ketika turnamen semacam Piala Dunia atau Euro. Membundelnya jadi satu, mengkategori apa yang informasi-informasi penting yang harus saya pelajari lebih jauh. Dan saya bikin scrapbook dari sana dan punya keinginan mengunjungi beberapa stadion sepakbola di dunia.

Setelah Bola mengembangkan anak-anak usahanya semacam Bola edisi Poster dan BolaVaganza, saya juga selalu membelinya. Dari mulai harga 2.500 sampai 15.000, saya selalu membeli bola edisi poster dan, kamar saya adalah museum poster dan arsip terbesar- di rumah saya. Sayang, semua arsip ludes, dimakan rayap, tercecer entah kemana, dan terutama karena saya malas.

November ini harian Bola menemui senjakalanya, dan tahun depan, tabloidnya mungkin akan mengalami hal yang sama.

(Wisnu Prasetya Utomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar