Senin, 02 November 2015

Carok

Dua pekan lalu, tiga anak muda diberitakan terlibat carok di Sumenep, Madura. Dua lawan satu. Mereka saling menyabetkan clurit gara-gara orang tua dari salah satu mereka dikabarkan berselingkuh dengan istri lawan caroknya. Carok tak terhindarkan tapi beruntung ketiganya tidak mati. Saya yang membaca berita itu segera menjadi jeri, teringat kejadian carok yang nyaris saya saksikan di kampung saya.

Saya datang terlambat, ketika pada suatu sore, Eri dan Asa carok hingga Asa terkapar, mati di pinggir kali. Keduanya berkerabat. Asa adalah paman Eri. Bapak Eri adalah kakak kandung Asa.

Orang-orang berlarian ke pinggir kali di dekat pekuburan yang berjarak kira-kira semenit dari rumah. Mereka berteriak-teriak “Carok... carok...” Ibu-ibu menjerit. Ada yang menangis.

Saya yang baru selesai menyiram halaman, segera ikut berlari ke pekuburan. Orang-orang sudah menyemut. “Asa mati... Asa mati.”

Saya menyeruak, menerobos keramaian menuju pekarangan rumah Eri dan Asa. Rumah mereka berhadap-hadapan. Rumah Eri menghadap kuburan, tembok belakang rumah Asa menempel ke pagar tembok kuburan. Keduanya menempati dua rumah yang dibangun di atas tanah warisan milik orang tua Asa dan kakek Eri. Posisinya hanya sepelemparan batu dari kali yang melintang di sebelah pekuburan, tempat Asa terkapar di sore itu.

Ramai orang berdiri di depan pintu rumah Asa dan Eri. Sebagian sibuk menggotong mayat Asa dari pinggir kali ke rumahnya. Sebagian menutupi darah Asa yang tercecer dari kali ke rumah Asa. Sebagian berdiri di depan pintu rumah Eri. Tangis ibu-ibu dan suara orang-orang seperti suara tawon yang dirusak sarangnya. Saya mendengarkan beberapa orang bercerita asal mula perkelahian.

Kata mereka, akibat kehabisan darah setelah mencoba mencari pertolongan, Asa terkapar di pinggir kali. Dia berjalan dari halaman rumahnya ke jalan setapak di pinggir kali sambil mengerang meminta tolong, tapi tak ada orang yang menolong. Semua orang memilih bersembunyi di dalam rumah karena takut. Saat Asa benar-benar mati, barulah orang-orang berlarian menolongnya. Cerita dari orang-orang yang menggotong mayatnya, posisi dua rahang Asa berlawanan arah seperti sedang menahan kemarahan dan rasa sakit.

Semua berawal saat usai waktu shalat ashar. Istri Eri menyiram halaman tapi entah kenapa, dia kemudian cekcok dengan istri Asa. Di kampung, istri Eri terkenal penyabar dan sudah bukan rahasia lagi, dia seringkali dimaki-maki oleh istri Asa dan juga oleh Asa.

Saat cekcok dengan istri Asa, tiba-tiba muncul Asa dari dalam rumah. Dia bukan saja memaki-maki istri Eri tapi juga menamparnya. Istri Eri spontan berlari ke dalam rumah hingga membangunkan Eri yang kebetulan tidur. Eri yang kaget lalu mendatangi pamannya, mencoba bertanya baik-baik mengapa menampar istrinya, tapi bukan jawaban yang diberikan oleh Asa. Dia yang memegang lancor [clurit panjang] malah menantang carok Eri.

Eri sebetulnya tidak melayani tantangan Asa. Dia malah minta maaf tapi Asa terus mendesaknya. Mengolok-olok Eri sebagai penakut. Diejek sebagai bukan laki-laki, tak punya martabat dan harga diri. Asa melengkapi kemarahannya dengan menampar dan meludahi wajah Eri. Pada saat itulah, Eri berlari masuk ke rumahnya, mengambil sebilah pisau lalu kembali keluar menyongsong tantangan Asa. Duel tak bisa ditolak.

Asa yang melihat Eri menghunus pisau, segera menyambutnya dengan mengayunkan lancornya ke Eri. Eri menyisih dan menundukkan kepala, sebelum menusukkan pisaunya ke bagian samping perut Asa. Tepat di bawah rusuk kiri. Sekali. Lalu dicabutnya pisau itu dan kembali ditusukkan. Dicabut lagi, ditusukkan lagi. Begitu seterusnya. Berulang-ulang.

Orang-orang yang mengangkat mayat Asa bercerita, bentuk luka di tubuh Asa bukan lurus seperti garis, melainkan bengkok seperti koma. Eri rupanya menancapkan pisaunya lalu memutarnya.

Darah menyebur dari bagian perut Asa. Matanya melotot menahan marah dan mungkin malu. Dia mengerang. Dari mulutnya masih sempat keluar kata-kata makian untuk Eri, tapi tenaganya segera mulai berkurang. Lancor, clurit panjangnya terjatuh di tanah.

Melihat pamannya tak berdaya, Eri segera masuk ke rumahnya, membiarkan Asa terus bersuara tak keruan. Terhuyung-huyung dia melangkah dari pekarangan rumahnya menuju kali. Para tetangga yang melihat adegan itu segera berlarian ketakutan. Di pinggir kali itulah, Asa benar-benar terkapar. Ususnya terburai. Matanya melotot. Mulutnya menganga dengan kedua posisi kedua rahang berlawanan arah. Dia tampak menyimpan marah. Mungkin kesumat.

Kampung kami geger. Orang-orang berdatangan. Sebagian menggotong mayat Asa. Sebagian menutupi darah yang tercecer, yang baunya membuat perut jadi mual. Benar kata orang, darah dan bangkai manusia, lebih busuk dari apa pun.

Sebagian orang menunggu di depan pintu rumah Eri termasuk saya. Eri adalah teman sepermainan saya ketika kami masih anak-anak. Kulitnya legam. Rambutnya kaku seperti ijuk dan itulah yang sering jadi bahan ejekan anak-anak di kampung.

Di keluarganya, dia adalah anak laki satu-satunya. Bapaknya asli Madura. Pekerjaannya Hansip yang berjaga di rumah bupati, dan kawan akrab bapak saya. Ibunya hanya pembantu.

Sebelum tregedi berdarah sore itu, hampir setiap sore, Eri mengasah pisau dapur yang belakangan dia gunakan membunuh pamannya. Setiap kali tetangga bertanya, Eri akan menjawab pisau dapurnya sudah tumpul dan dia hendak menajamkannya. Orang-orang kemudian menghubungkan perilaku Eri itu sebagai niat atau rencana untuk membunuh Asa, tapi saya tidak percaya.

Saya mengenal Eri sebagai orang yang sabar dan lucu. Suaranya tidak lantang. Meskipun kawan-kawan yang lain sering merundungnya, Eri tak pernah membalas mereka. Satu-satunya kawan yang tidak pernah mengejeknya, mungkin hanya saya dan karena itu Eri menghormati saya. Sering dia membantu saya menyiram halaman, lalu saya membelikannya rokok, atau memberinya beras untuk anak bininya.

Sore itu, saya masih berdiri di depan pintu rumah Eri ketika dua polisi berpakaian preman menerobos masuk ke dalam rumah. Mereka lalu menyeret Eri seolah maling ayam. Seorang polisi memukulkan gagang pistol ke kening Eri, tepat di bagian alis. Darah membasahi wajah dan baju putih Eri. Tangannya ditekuk ke belakang lalu dia disorong untuk berjalan.

Orang-orang yang memenuhi halaman rumah Eri memberi jalan bagi Eri dan dua polisi yang meringkusnya. Saya tetap berdiri di pinggir. Sejenak Eri bersirobok dengan saya. Dia menatap saya. Saya juga menatapnya.

Sebelum saya berangkat merantau ke Jakarta, Eri masih belum disidangkan. Saya baru mendengar kabar tentang dia, setelah beberapa bulan berada di Jakarta. Bapak mengabarkan, Eri dihukum penjara 10 tahun. Dia dikirim ke Nusakambangan. Istrinya yang didakwa menjadi pemicu perkelahian, dikungkung di penjara wanita di Malang.

Bertahun-tahun setelah tragedi itu, setelah Eri selesai menjalani hukuman, dia sering datang menemui saya setiap kali saya pulang liburan. Eri jadi tukang becak tapi dia tak pernah menceritakan kejadian tragis berpuluh tahun yang lalu. “Buat apa carok Cak? Menang jadi abu, kalah jadi arang.”

Carok adalah jalan yang ditempuh oleh laki-laki Madura. Cara ini ditempuh untuk menegakkan marwah agama, dan martabat keluarga. Seringkali pemicunya persoalan sepele: cemburu. Misalnya karena istri digoda atau diganggu orang. Laki-laki yang mendapati istrinya digoda orang apalagi istrinya menolak, maka tak ada jalan lain baginya kecuali menantang carok.

Dulu, carok dilakukan ditempat tersembunyi dan benar-benar duel satu lawan satu. Penantang biasanya datang ke rumah laki-laki yang dianggapnya merusak rumah tangganya. Dia lalu akan menyerahkan clurit yang dibawanya untuk diserahkan pada laki-laki yang ditantangnya, dan sebaliknya yang ditantang akan menyerahkan cluritnya kepada laki-laki yang menantang. Keduanya lantas menentukan waktu dan tempat untuk carok, dan hanya mereka berdua yang tahu meskipun seringkali sanak-famili mereka kemudian ikut menyaksikan.

Dan bila disepakati, keduanya akan benar-benar mendatangi tempat yang sudah ditentukan pada waktu yang juga tepat. Mereka akan berkelahi hingga salah satu dari mereka mati, dan itulah jalan yang dianggap terbaik untuk menebus rasa malu, tapi sebelum duel dimulai, keluarga yang datang akan diberitahu bahwa masalah mereka hanya akan selesai di sana, dan itu harus disepakati meskipun dalam praktiknya, yang terjadi adalah dendam dan perkelahian yang berkepanjangan.

Belakangan, carok berubah cara dan polanya, dan tak lagi menjadi duel ksatria antara dua laki-laki di satu tempat tertentu. Carok di zaman sekarang bisa dilakukan di mana saja, dan itulah berbahayanya terutama apabila salah satu dari yang terlibat perseteruan tidak siap atau tidak membawa senjata. Mungkin karena carok itulah, orang Madura lantas dianggap keras dan selalu memilih jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, meskipun anggapan semacam itu bisa sepenuhnya runtuh.

Seperti manusia lainnya dari bangsa, suku dan ras apa pun, orang Madura juga punya prinsip hidup. Prinsip orang Madura adalah “beli’e poteh tolang etembhang poteh mata” [lebih baik mati daripada menanggung malu]. Prinsip itu terutama berlaku bila dua hal yang dianggap oleh orang Madura tak boleh diganggu dan diusik oleh siapa pun, kemudian diganggau. Dua hal itu adalah orang tua [keluarga] dan agama [kiai]. Dan termasuk dalam keluarga itu adalah harta benda terutama tanah warisan. Bila dua hal itu diganggu, orang Madura seringkali lebih memilih mati daripada menanggung malu. Mereka juga seringkali lupa, postur mereka tak memadai untuk berkelahi, meski ukuran badan seseorang tak selalu menyatakan nyali.

Keluarga: orang tua, istri-anak, dan tanah adalah kehormatan dan martabat yang harus dijaga. Jangan pernah menganggu istri orang Madura bila tak punya cukup nyali untuk mengucurkan darah. Bahkan jika yang terjadi adalah istri orang Madura yang justru bersedia untuk diganggu atau dirusak kehormatannya, bagi orang Madura, tak ada jalan lain, keduanya, istri dan pengganggunya harus mati. Istri semacam itu sudah dianggap tak ada harganya lagi karena tak bisa menjaga kehormatan dan martabat dirinya, suami dan keluarganya.

Suami yang melakukan carok, bisa saja akan kalah dan mati, tapi kematian akan dianggap lebih baik sebab dia membela kehormatan. Kendengarannya mungkin konyol, dan barangkali pula akan terkesan bodoh, tapi begitulah cara laki-laki Madura, salah satu puak Melayu Bima menjaga martabat keluarga mereka. Bagi mereka, istri adalah mahkota, simbol kemuliaan keluarga dan tempat berlindung semua anak-anak mereka yang harus dijaga dengan semua keberanian dan kehormatan. Apa pun taruhannya.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar