Kamis, 26 November 2015

Mengusir Kabar Burung

Secara resmi baru muncul di publik pada tanggal 1 Mei 2015, www.kabarburuh.com dengan cepat langsung mendulang perhatian publik terutama para buruh dan aktivis perburuhan. Siapakah awak media ini, dan bagaimana cara mereka bekerja?

Alfa Gumilang punya latar belakang aktivitas politik yang cukup panjang. Kurang dari setahun begitu dia diterima kuliah di Universitas Bung Karno pada tahun 2001, dia langsung bergabung dengan Liga Mahasiswa untuk Demokrasi (LMND). Sejak itu, Alfa banyak ditugaskan untuk membantu sektor buruh. Usai beraktivitas di sektor mahasiswa, laki-laki kelahiran Magelang 1982 itu, langsung aktif di organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP). Di organisasi anyarnya itu, dia pun bekerja di sektor buruh.

Alfa kini menjabat sebagai sekretaris jenderal Komunitas Kretek. Di sekretariat Komunitas Kretek yang berada di Jakarta itulah banyak berkumpul para aktivis dari berbagai sektor dan isu. Ada yang dari sektor buruh seperti Alfa, ada pula yang menggeluti isu lingkungan hidup, HAM, sampai sektor mahasiswa. Aditia Purnomo yang didapuk sebagai redaktur situsweb Komunitas Kretek, adalah aktivis mahasiswa yang berkecimpung di dunia persma, sekaligus sering menjadi relawan sebuah organisasi buruh. Namun organisasi buruh tempat Adit aktif, tidak sama dengan organisasi buruh tempat Alfa beraktivitas.

Pergaulan sosial antaraktivis ini yang berkembang begitu dinamis di sekretariat Komunitas Kretek. Mereka kadang masak bersama, main PS, banyak pula kaum aktivis yang meminjam tempat tersebut untuk berdiskusi. Dengan begitu, lambat laun mereka yang sering tinggal dan singgah di sana, punya pengetahuan dan sensitivitas antar-isu dengan baik. Mereka juga sering membantu.

Jibal Windiaz misalnya, seorang seniman yang juga pegiat Komunitas Kretek, sering membantu pentas seni di acara-acara buruh dan HAM. Membantu begitu saja. Tidak ada hitung-hitungan uang. "Di sini mah, uang kagak begitu laku. Yang penting kenal baik dan berteman akrab..." ujar Jibal dengan logat Betawinya yang begitu kental.

Dalam situasi seperti itulah, Kabar Buruh lahir.

•••

Awal tahun 2015, media sosial banjir dengan pertarungan antara pembela pemogokan buruh berhadapan dengan apa yang kemudian sering disebut sebagai 'kelas menengah ngehek'. Satu dan lain saling serang. Sebagian berpikir kaum buruh terlalu banyak menuntut, sering bikin macet jalanan, padahal gaya hidup mereka terbilang 'wah' dengan motor dan gajet mahal.

Di antara perseteruan itu, Alfa berpikir berbeda. Seandainya pihak yang menghujat kaum buruh itu tahu soal dunia buruh, kesulitan mereka, ketidakadilan yang menimpa mereka, problem sosial yang mereka hadapi, tentu kenyinyiran itu bisa dipangkas. Terlebih, sebagian besar yang menghujat adalah kaum buruh juga. Kaum buruh kantoran. Hanya karena bekerja di kantor, tidak sadar bahwa mereka sesungguhnya juga buruh. Itu artinya, kesadaran atas apa itu kelas buruh, juga masih rendah.

Kegalauan seperti itu tampaknya juga dirasakan oleh orang-orang yang sering meriung di sekretariat Komunitas Kretek. Kebetulan, beberapa dari mereka pernah ikut acara workshop bertema dunia digital, mulai dari sisi manajemen sampai teknisnya. Dari situlah gagasan Kabar Buruh bermula: sebuah situsweb mengenai dunia buruh.

Tidak sampai sebulan setelah obrolan pertama dimulai, Kabar Buruh lahir. "Saat itu masih sederhana, kami masih menulis ulang berita-berita tentang buruh yang ada di berbagai media, lalu memberikan perspektif buruh yang kami percayai." ungkap Alfa. Terlebih, kata Alfa, sekalipun para awak Kabar Buruh sudah tahu dunia buruh tapi belum begitu mendalam. "Butuh sedikit waktu lagi untuk mengerti dunia buruh."

Tapi karena sudah sering berinteraksi dan bekerjasama, tim kerja Kabar Buruh bisa bekerja dengan cepat dan tanggap. Zulvan Kurniawan yang tahu soal pembuatan situsweb dan desain, membantu di sisi teknisnya. Aditia membantu menyunting. Sementara Jibal dan para aktivis yang sering nongkrong di sekretariat Komunitas Kretek menjadi relawan-jurnalis. Mereka terjun ke jalanan untuk meliput aksi-aksi buruh. Mereka juga tak segan-segan terjun ke sekretariat-sekretariat perjuangan buruh dan ke pabrik-pabrik yang ada di Jabodetabek.

Munculnya Kabar Buruh dengan cepat direspons positif oleh para buruh, sebab di saat yang bersamaan, mereka kecewa dengan media umum karena pemberitaan soal aksi-aksi yang mereka lakukan sangat minim dan penuh bias. Isu utama dan substantif sering hilang. Pemberitaan yang muncul lebih bernada minor: bikin macet, meninggalkan sampah, dan egois.

Respons positif tidak hanya berhenti di taraf itu. Beberapa buruh bahkan bersedia menjadi jurnalis Kabar Buruh. "Mereka mengirim berita langsung dari pabrik, kos, dan sekretariat mereka. Dari sinilah terbetik ide tentang 'jurnalisme buruh', jurnalisme yang ditulis oleh buruh untuk menjelaskan ke publik tentang apa persoalan mereka." papar Alfa yang sejak awal didapuk sebagai pemimpin redaksi.

Makin hari, makin banyak para buruh yang bersedia menjadi jurnalis, dan hal itu berpengaruh pada banyaknya tulisan yang diunggah oleh Kabar Buruh. Menurut Alfa, sekarang ini rata-rata ada 5 berita yang dilansir oleh Kabar Buruh. Bahkan jika ada momentum tertentu seperti misalnya aksi demonstrasi dan pemogokan, bisa sampai 8 berita. Semua dikirim langsung oleh buruh dengan cara lewat aplikasi Whatsapp, BBM, bahkan SMS biasa. "Nanti kalau ada yang kurang jelas, aku telepon mereka."

Pembiayaan situsweb ini pun dilakukan dengan gotong royong. Tentu Alfa sebagai Pemred yang paling banyak nyawer. Tapi menurut penuturannya, biaya tersebut tidak besar. Biaya yang besar dalam operasional stusweb adalah gaji karyawan, karena mereka tidak digaji dan memposisikan diri sebagai relawan, maka biaya tersebut tidak ada.

Dengan pola kerja seperti itu, berikut segala keterbatasannya, ternyata Kabar Buruh terus melaju. Setidaknya Alexa mengganjar dengan rangking 3.700. Bukan hal gampang untuk menembus rangking 5.000 di tengah persaingan dunia situsweb yang makin keras.

Tapi yang lebih utama dari rangking adalah bagaimana situsweb ini punya kontribusi penting dalam gerakan buruh di Indonesia. Menyuarakan kepentingan mereka, memberi penyadaran atas sebuah kelas sosial, serta menjernihkan situasi dan mengusir berbagai kabar burung dan desas-desus yang tidak jelas. Tentu saja situsweb ini juga makin penting karena makin banyak kaum buruh yang terlibat dalam kerja-kerja jurnalistik di Kabar Buruh.

Jurnalisme buruh yang diusung oleh Kabar Buruh, tampaknya akan menjadi sebuah fenomena jurnalistik di Indonesia yang perlu diperhatikan. Ketika media arus utama meninggalkan kaum buruh, bisa jadi sebetulnya mereka sedang ditinggalkan para pembacanya, dan para pembaca tersebut bermigrasi ke situsweb alternatif yang mengusung isu sektoral dan punya sikap yang jelas seperti Kabar Buruh.

Setiap jengkal perlawanan pada dasarnya adalah ujian kreativitas. Awak Kabar Buruh telah membuktikannya. Setidaknya telah memulai dengan begitu meyakinkan.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar