Minggu, 29 November 2015

Raja-raja

Tak banyak yang tahu, Kesultanan Ternate, salah satu dari tiga kerajaan Islam pertama dan terbesar di Nusantara selain Samudra Pasai di Aceh dan Demak di Jawa, memiliki sultan yang bersahabat baik dengan penyebar ajaran Katolik di Maluku. Dia adalah Sultan Khairun dan sahabatnya adalah Santo Fransiscus Xaverius. Ayah kandung Khairun, sultan terhebat Kesultanan Ternate, yang menjadi satu-satunya sultan di Nusantara yang pernah mengalahkan tiga bangsa Eropa [Portugis, Spanyol dan Belanda], pernah hidup di biara Katolik dan mengikuti pendidikan khusus Jesuit di Goa India dan mendapatkan nama baptis: Ben Acorala.

Dan memang kerukunan antarumat beragama di wilayah yang disebut sebagai Semenanjung Raja-Raja --yang terbentang dari Halmera, Ternate, Tidore, Bacan, Maluku, Raja Ampat, hingga Fakfak Papua-- sudah terbangun sejak lama, sejak Islam dan kemudian Nasrani merambah ke sana. Di Fakfak, umat Muslim memegang prinsip Satu Tungku Tiga Batu, yang membagi urusan manusia dengan Allah [tauhid], dan urusan manusia dengan manusia.

Prinsip itu sesuai ajaran Islam hablun minallah [hubungan dengan Allah] dan hablun minannas [hubungan dengan manusia], dan dipacak lewat wujud kain hijau yang menutupi mihrab di Masjid Patimburak, masjid tertua di Papua. Dengan prinsip itu, maka sewaktu Ambon dibakar sentimen keagamaan, orang-orang Papua di Fakfak karena itu tak mudah tersulut kemarahan dan kebencian.

Sebaliknya, mereka malah berbagi rasa aman: pada hari Jumat, umat Nasrani menjaga masjid yang digunakan untuk salat Jumat, dan pada hari Minggu, umat Muslim menjaga gereja yang digunakan untuk kebaktian atau misa. Isu agama tak laku dijual di Fakfak, tidak juga pada saat pemilu dan sebagainya.

Kisah-kisah kerukunan umat beragama dan juga keguyubannya semacam itulah yang direportase oleh Kardono Setyorakhmadi, wartawan Jawa Pos, selama kurang-lebih sebulan sepanjang Ramadan lalu. Dia menyinggahi sembilan pulau, mengunjungi puluhan masjid, dan tentu saja semua itu bukan perkara mudah bahkan seandainya di wilayah itu sudah tersedia transportasi yang memadai. Buku Mojok lalu membukukannya di bawah judul "Melawat ke Timur, Menyusuri Semenanjung Raja-Raja". Sebuah buku yang menarik yang ditulis oleh orang yang bukan Maluku dan bukan Papua.

Dari buku ini, Anda akan tahu, kerukunan umat beragama di Nusantara bukanlah mitos, tidak pula seperti yang sering diprasangkakan banyak orang. Keharmonisan di Semenanjung Raja-Raja yang ditulis Kardono adalah salah satu buktinya. Benar-benar ada. Hanya sebagian kecil orang atau kelompok yang mencoba merusaknya: orang-orang yang merasa telah berbakti kepada Tuhan, atau termakan propaganda dan adu domba.

#minggumojok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar