Minggu, 29 November 2015

Taman Bunga, Wajah Kita

Mungkin setiap ruang publik, atau komersial, khususnya yang punya obyek-obyek menarik tapi rentan rusak, kini perlu diberi fasilitas khusus, yaitu jalur khusus selfie. Serius.

Mengutip Menteri Anies sebelum jadi menteri dulu, daripada mengutuk gelap, bukankah lebih baik mulai menyalakan lilin? He he he.

Saya tidak tertarik untuk mengecam abege-abege 'selfish' yang sudah merusak taman bunga di Pathuk dengan aksi selfie mereka. Bagi saya, mereka hanyalah potret saja dari produk sistem pendidikan kita hari ini. Juga, potret dari kualitas orangtua dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Hari ini.

Di lini masa, banyak orang pernah membagi tautan mengenai bagaimana di luar negeri para orangtua lebih khawatir anaknya tidak bisa antri daripada tidak bisa matematika. Sayangnya, tautan itu sepertinya lebih banyak dibagikan sekadar untuk pamer keterdidikan daripada mewakili kegelisahan sebagai pendidik yang sebenarnya.

Bukankah tak di sekolah atau di rumah, kita hari ini hanya mencekoki anak-anak dengan tuntutan-tuntutan kognitif, sembari mengabaikan banyak hal lainnya?! Berapa banyak orang (tua) yang merasa ada yang salah dengan semua itu dan berusaha untuk mengubahnya?!

Dua pekan lalu, dalam sebuah perjalanan ke luar kota, teman seperjalanan saya, seorang bapak berumur lima puluhan, memuji-muji sistem pendidikan kita hari ini. Dia cerita, anak-anak sekolah jaman sekarang disebutnya lebih rajin daripada anak-anak jaman dulu. Kini, ujarnya, setiap pulang sekolah, anaknya yang kebetulan duduk di bangku SMA, tak pernah keluar kamar, karena harus mengerjakan tugas ini dan itu. Begitu juga kalau malam, dia jarang keluar kamar karena harus belajar dan berlatih. Sungguh berbeda dengan jaman ia remaja dulu. Pendek kata, dia sama sekali tak merasa ada yang keliru dengan semua itu.

Di akhir cerita, saya melontarkan pertanyaan padanya, "Tapi apa kira-kira yang kurang dari mereka?!"

Bapak itu terdiam sebentar. Ia lalu mengangguk-angguk. "Anak saya, dan sepertinya juga anak teman-teman saya lainnya, kini kayaknya tidak lagi antusias kalau diajak main ke rumah kakeknya atau sanak famili pas libur sekolah, Mas. Ketemu dengan orang sepertinya dianggap sebagai beban oleh mereka. Sebab, kalau libur, misalnya, anak saya lebih suka istirahat di rumah sembari main gadget," terangnya. "Nggak bergaul seperti jaman saya muda dulu."

Sayapun mengangkat bahu. Begitulah.

Jika kita, baik sebagai pribadi maupun secara kolektif tak pernah menginvestasikan nilai-nilai lain selain tuntutan kognitif sebagaimana yang terus dimapankan oleh lembaga pendidikan formal, mulai dari jenjang terendah hingga tertinggi, dan pendidikan di dalam keluarga gagal menjadi pelengkap, karena kian menjadi kepanjangan tangan dari pendidikan resmi, apa yang kita bayangkan akan dituai oleh sistem pendidikan yang demikian?!

Di taman bunga Pathuk, kita seharusnya melihat wajah asli kita sendiri.

Itu sebabnya saya selalu mempertanyakan pekerjaan Menteri Anies. Kalau orang secerdas dan sekritis Menteri Anies tak melakukan koreksi mendasar atas praktik pendidikan kita hari ini, siapa lagi yang bisa kita harapkan melakukan perubahan itu?!

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar