Jumat, 05 Februari 2016

Meregang Nyawa

Jurnalisme mengenal pemakaian bahasa yang ekspresif. Tujuannya adalah untuk menimbulkan stimulus dalam alam pikiran audience yang memungkinkan si audience memberikan perhatian lebih dan menangkap pengertian suatu/beberapa kata secara lebih cepat dan lebih jelas. Bahasa yang ekspresif tidak dimaksudkan untuk membesar-besarkan kenyataan, tidak untuk menimbulkan sensasi, apalagi untuk membiasakan diri dengan bahasa yang “tidak berperasaan”.

Tetapi pada sebagian orang perasaan berbahasa itu mungkin tidak terlatih, dalam arti dia tidak pandai menimbang kepatutan dan ketidak-patutan. Bisa jadi pula, perasaan berbahasa itu mati.

Apabila perasaan berbahasa itu tidak dimiliki wartawan, maka publik akan disuguhi bahasa yang kasar, bahasa yang mengabaikan kepantasan. Ketika wartawan yang perasaan berbahasanya tumpul menulis berita, bisa jadi dia memproduksi contoh pemakaian bahasa yang buruk, dan seterusnya dia “mendidik” publik memakai bahasa yang tidak patut.

Sangatlah tidak pantas untuk membicarakan manusia yang sekarat --insan yang dalam sakaratul maut (kritis)-- dengan mengatakannya sebagai manusia yang meregang nyawa. Makin tidak pantas jika kata “meregang nyawa” dipakai untuk menceritakan keadaan manusia yang tewas dalam kejadian tragis. Menjadi sangat keliru, apabila makna kata “meregang nyawa” disamakan dengan “meninggal”.

Perasaan saya sering tergores ketika membaca berita tentang tragedi yang ditulis reporter dan --mungkin-- disunting oleh editor yang perasaan berbahasanya sangat buruk. Rasanya seperti menyaksikan manusia sok gagah-gagahan yang tak tahu etika. Tanpa hendak menyumpahi orang, kadang-kadang terlintas dalam pikiran saya niat yang sama buruknya dengan perasaan berbahasa si wartawan itu. Kira-kira perasaan seperti apakah yang mengetuk hatinya, apabila anggota keluarganya meninggal dunia, dan saya bertanya kepada dia dengan kalimat “Pukul berapa ... mu ini meninggal, dan berapa lama dia meregang nyawa?”

MM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar