Tampilkan postingan dengan label Muhammad Al-Fayyadl. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muhammad Al-Fayyadl. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Mei 2015

Islam dan Kapitalisme Menurut Prof. Dr. Ahmad Shalaby

"Perbedaan Islam dengan kapitalisme djelas. Dengan memperhatikan keterangan2 jang berlalu didapatlah gambaran jang djelas tentang usaha jang didjalankan oleh Islam, dan tjara2 jang diandjurkannja untuk penentang kapitalisme jang ganas itu. Tindakan2 sebagai mengumpul harta kekajaan dan menahannja dari peredaran, menjuap, menimbun barang2 keperluan hidup, mengerdjakan riba, hidup rojal dan boros, egoisme, mempergunakan faktor kemiskinan atau kebodohan si miskin untuk kesenangan dan kebahagiaan si kaja, penindasan terhadap si miskin, sama sekali itu adalah anasir2 dan pokok2 kapitalisme jang paling njata, jang amat ditentang oleh Islam.

Rabu, 08 April 2015

Tuntutan Menurunkan Jokowi

Tuntutan menurunkan Jokowi yang santer hari-hari ini merupakan manuver berbahaya, karena bila tuntutan itu berhasil, akan memberi jalan bagi oligarki, kekuatan-kekuatan besar di sekelilingnya itu, untuk lebih kuat mengkonsolidasikan diri. Kita belum tahu agenda apa yang sedang mereka persiapkan. Lebih tepat jika tuntutan itu diarahkan menjadi tuntutan antioligarki dengan sasaran tiga kekuatan besar Megawati, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla, dan tuntutan untuk "reshuffle" kabinet dan membatalkan berbagai kebijakan yang tidak pro-rakyat, serta membatalkan "masterplan" pembangunan neoliberal warisan rezim sebelumnya (MP3EI). Dengan cara itu mungkin kita bisa pelan-pelan terbebas dari pikiran bahwa semua persoalan akan selesai dengan pergantian pemimpin. (Muhammad Al-Fayyadl)

Jumat, 27 Maret 2015

Andai Saut Situmorang Dipenjara

Andai Saut Situmorang dipenjara, hanya karena ulah kecilnya mengatakan “bajingan!” dalam polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, maka kita akan kehilangan seorang kritikus yang kreatif memainkan “politik performatif” dalam pergaulan sastra Indonesia kontemporer. “Politik performatif”, seperti dianalisis Judith Butler dalam Excitable Speech, adalah suatu politik yang mempermainkan bahasa untuk bereaksi atas perilaku orang lain, dan menjadikan bahasa suatu tindakan politik itu sendiri. Dalam hal ini, Saut melakukan apa yang tidak pernah dilakukan dalam praktik kritik sastra di Indonesia: meleburkan batas antara kritik sebagai “bahasa tinggi” – yang otoritasnya selama ini dijaga oleh para penunggu akademi sastra – dan sumpah-serapah “bahasa rendah”, antara bahasa teori dan bahasa percakapan, antara bahasa diskursif dan bahasa vulgar keseharian.

Jumat, 20 Maret 2015

Pejuang dari Rembang

Ibu-ibu para pejuang dari Rembang itu telah pulang ke Rembang. Jauh-jauh mereka dari Rembang ke Yogyakarta, untuk memberi pelajaran kepada orang-orang kampus dan sekolahan tentang “aksiologi”: bahwa ilmu itu, Le, bukan untuk ilmu, bukan untuk korporasi, tapi untuk berpihak kepada penderitaan rakyat. Ilmu itu untuk mengemansipasikan. Mungkin orang-orang Yogya yang pandai-pandai dan sarjana-sarjana itu telah lupa dengan pelajaran aksiologi dasar ini, sampai-sampai butuh ibu-ibu yang tak sekolah itu untuk mengingatkan. Mereka datang untuk mengingatkan agar para “homo academicus” itu tak sembarang menggunakan legitimasi ilmiahnya di dunia yang tak bebas-nilai ini. Para dosen filsafat ilmu mesti malu dan berguru kembali kepada para perempuan luar biasa itu. (Muhammad Al-Fayyadl)

Senin, 16 Maret 2015

Tentang “Teologi Negatif Ibn ‘Arabi”: Sebuah Percakapan

Medio 2013, Achmad Fawaid (AF), seorang peneliti sastra dan pembaca filsafat di Yogyakarta, terlibat percakapan tertulis dengan penulis (MAF) mengenai buku “Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan” (LKiS, 2012). Percakapan panjang itu mendiskusikan dan memperdalam beberapa pembacaan atas buku tersebut, yang dirasakan belum disinggung atau belum tuntas dibahas dalam berbagai resensi atau diskusi buku itu. Belum semua pertanyaan yang lahir dari percakapan itu terjawab, sebagian dibiarkan terbuka dan masing-masing seperti harus berhadapan dengan kebuntuan (aporia)-nya sendiri. Karena sebuah buku yang telah jadi, kata Maurice Blanchot, adalah hampir selalu merupakan sebuah “buku yang akan datang” (“le livre à venir”), demikian pula sebuah percakapan hampir selalu merupakan sebuah percakapan yang tak selesai-selesai (“entretien infini”). Percakapan berikut adalah petikannya.

Selasa, 10 Maret 2015

Jalan-jalan Besar Jogja

Melintasi jalan-jalan besar Jogja, melihat rangka pembangunan mall-mall raksasa baru (dan hotel-hotel), terbayang dalam benak, bagaimana wajah kota ini 20-30 tahun ke depan? Jogja tampaknya tak lagi "alon-alon asal kelakon".

Senin, 02 Maret 2015

Patung Jayandaru

Patung Jayandaru dibongkar bukan karena akan dianggap berhala, tapi karena orang-orang itu tidak mau melihat figur petani dan rakyat pekerja hadir di ruang publik. Selama berpuluh tahun, Orde Baru berhasil menyensor kesadaran kita untuk meraibkan figur rakyat jelata dari tatapan umum, agar rakyat jelata hanya menjadi figuran di balik layar. Tubuh mereka bekerja membangun negeri, tapi tak boleh ditampakkan.

Sabtu, 21 Februari 2015

Kesulitan Titik Temu NU-Wahabi

Tanggapan yang elegan dari seorang intelektual NU, penulis buku "Islam Borjuis dan Islam Proletar". Sayangnya ia tidak menyinggung alasan ekonomi-politik dari kesulitan titik-temu NU-Wahabi untuk saat ini: Wahabi anak sah dari kapitalisme petrodolar, NU dari ekonomi bumiputera yang (sejatinya) anti-kapitalisme asing. Titik temu itu mungkin terwujud, kalau NU membuka krannya kepada kapitalisme petrodollar, sesuatu yang akan mengkhianati "khittah" ekonomi bumiputeranya. (Muhammad Al-Fayyadl)

Senin, 16 Februari 2015

Tantangan Umat Beragama

Tantangan umat beragama ke depan sepertinya bukan saja membangun dialog antar- dan intra-agama, tapi juga membangun dialog dengan berbagai bentuk ketidakberagamaan ("irreligiousities") dan ketidakberimanan ("unbeliefs") kontemporer. Seperti dengan ateis fundamentalis yang membunuh tiga mahasiswa Muslim Amerika itu.

Minggu, 01 Februari 2015

Posisi NU terhadap Borjuasi Nasional

Hal yang menuntut refleksi warga Nahdliyyin di milad NU ke-89 ini adalah mengenai posisi NU terhadap borjuasi nasional. Kader-kader NU menjadi penyangga bagi rezim yang berkuasa saat ini, dan ditempatkan di pos-pos yang berhubungan langsung dengan eksekusi kebijakan-kebijakan rezim. Sementara sumber dan perputaran modal di antara pos-pos ekonomi yang penting, tetap dipegang oleh oligarkh dan luput dari jangkauan kader-kader NU.

Senin, 19 Januari 2015

Media Borjuis

Membaca halaman depan Koran "Jawa Pos"/"Indo Pos" hari ini, 19 Januari 2015, tergambar dengan vulgar potret media borjuis dalam masyarakat berkelas hari ini. Di "space" paling atas, ada tulisan Dahlan Iskan yang menceritakan liburannya ke luar negeri dan kebebasannya memilih negeri tujuannya berlibur. Di bawahnya ada pemberitaan tentang puluhan orang yang menunggu hukuman mati karena permohonan grasinya ditolak. Kontras dua kelas yang berbeda. Sementara sejumlah besar orang mendekam dalam tahanan, kehilangan kebebasannya, dan merasakan sisa-sisa kebebasan itu perlahan terenggut sebelum menemukan penghabisannya di ujung pelatuk para penembak, sejumlah kecil orang (para elite) menikmati kebebasannya untuk tujuan-tujuan yang sekunder atau tersier, dan mungkin tak merasa perlu berpikir apakah kebebasannya akan membuat iri keluarga para narapidana yang dirundung cemas akan ketidakpastian nasib keluarganya. Mungkin yang terpenting bukan siapa lagi yang akan menulis di "space" teratas -- Dahlan Iskan atau anaknya (toh semua orang tahu bahwa "Jawa Pos" adalah koran "dinasti") -- tapi substansi tulisannya. Sebuah tulisan yang dengan ringan memamerkan kebebasan elitis seseorang di tengah kondisi ketidakbebasan yang membelenggu sejumlah besar orang yang lain.

Kamis, 15 Januari 2015

Aswaja Berparadigma Global

Muhammad Al-Fayyadl

Dalam sebuah sarasehan Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah) yang diselenggarakan para pemuda dan pemudi Nahdlatul Ulama (IPNU dan IPPNU) di sebuah kota kecil di Jawa Timur, pertanyaan jenial itu muncul: bagaimana ber-Aswaja dengan cara berpikir global? Bukan semata-mata karena yang melontarkannya anak-anak muda yang datang dari desa dan latar belakang keluarga santri yang sederhana. Tetapi juga karena pertanyaan itu datang dari sebuah tempat di pelosok, yang cukup jauh dari hiruk-pikuk keriuhan “politik global” – berbeda bila datang dari kalangan mahasiswa atau warga NU yang berada di luar negeri.

Kamis, 08 Januari 2015

Charlie Hebdo

Ada dua "Charlie". Charlie Chaplin dan Charlie Hebdo. Keduanya sama2 lucu. Menggemaskan. Mengundang orang tertawa, walaupun dengan senyum kecut. Keduanya satirik. Mengusik kenyamanan, menggugah orang untuk tak dogmatis, dan terkadang membuat penguasa tak nyenyak tidur. Keduanya membuka mata bahwa humor punya tempat dalam kehidupan, dan sah sebagai medium politik.

Rabu, 07 Januari 2015

Maksud Baik

Kadang ada pernyataan-pernyataan yang dikatakan dengan maksud baik, tapi dengan dibumbui dongengan dan interpretasi yang mengundang “sesat-pikir”, tanpa mengatakan bahwa itu adalah interpretasinya secara pribadi atas sejarah. Maksudnya baik, untuk memperingatkan generasi muda akan paham-paham ekstrem. Tapi caranya mengemas peringatan dengan bumbu-bumbu cerita membuat pernyataan itu menjadi sulit dipertanggungjawabkan.

Kamis, 11 Desember 2014

Kado Jelang dan di Hari HAM

Jokowi: "Saya itu tidak pernah menaikkan harga BBM. Saya mengalihkan subsidi."