Senin, 06 April 2015

Mr. Amir Sjarifuddin

Entah mengapa, di hari saat umat Kristiani merayakan kebangkitan Jesus Kristus (Isa Almasih) ini, tiba-tiba saya terkenang Mr. Amir Sjarifuddin, salah seorang bapak pendiri Republik ini yang dieksekusi sumir oleh tentara, dini hari 19 Desember 1948 di desa Ngaliyan dekat Yogyakarta…

Selasa, 31 Maret 2015

Membungkam Kebebasan Berpendapat

Sekali saja pemerintah membungkam kebebasan berpendapat tanpa melalui proses peradilan dan putusan pengadilan, selangkah lagi pintu otoritarianisme menganga lebar! (Harry Wibowo)

Sabtu, 28 Maret 2015

Apakah Makian Adalah Hal Substansial?

Makian Saut Situmorang muncul karena Fatin Hamama, sebagai orang dekat Denny JA, melakukan kerja-kerja manipulatif untuk membangun relasi-kuasa Denny JA dalam 'genre puisi esei' yang diklaimnya 'memperbarui' tradisi sastra Indonesia, misalnya orang-orang dirayu dan diiming-imingi dibayar asalkan mau meresensi buku "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh" yang diproduseri oleh Deny JA dan kawan-kawannya. Dalam konteks inilah makian muncul, selain fakta bahwa FH terus-menerus membela upaya manipulatif Denny di forum-forum diskusi yang membahas 'puisi esei' ataupun buku "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh".

Jumat, 27 Maret 2015

Saut Situmorang

Semingguan bepergian, nggak ada internet setiap harinya, dapat wifi cuma pas malam (itu pun selalu sudah sangat kecapekan), bikin saya nggak banyak membaca postingan kawan-kawan selama sepekan terakhir. Sore ini pulang dan baru ngeh beneran dengan peristiwa penjemputan paksa atas Bang Saut Situmorang.

Andai Saut Situmorang Dipenjara

Andai Saut Situmorang dipenjara, hanya karena ulah kecilnya mengatakan “bajingan!” dalam polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, maka kita akan kehilangan seorang kritikus yang kreatif memainkan “politik performatif” dalam pergaulan sastra Indonesia kontemporer. “Politik performatif”, seperti dianalisis Judith Butler dalam Excitable Speech, adalah suatu politik yang mempermainkan bahasa untuk bereaksi atas perilaku orang lain, dan menjadikan bahasa suatu tindakan politik itu sendiri. Dalam hal ini, Saut melakukan apa yang tidak pernah dilakukan dalam praktik kritik sastra di Indonesia: meleburkan batas antara kritik sebagai “bahasa tinggi” – yang otoritasnya selama ini dijaga oleh para penunggu akademi sastra – dan sumpah-serapah “bahasa rendah”, antara bahasa teori dan bahasa percakapan, antara bahasa diskursif dan bahasa vulgar keseharian.

Pengadilan Sastra(wan)

Apa yang Anda ingat jika mendengar kata "puisi"? Chairil Anwar?! Amir Hamzah?! Rendra?! Sutardji Calzoum Bachri?! Sapardi Djoko Damono?! Goenawan Mohamad?! Ah, berarti Anda kuno sekali! Imajinasi puisi Anda sudah membeku. Dan itu artinya Anda hidup dalam mitos ghaib tentang puisi. Sebab, menurut seorang penulis dalam buku ini, "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" (2014), Anda juga harus mengingat Denny J.A. Kenapa? Karena Denny J.A. adalah salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh, yang pengaruhnya sejajar dengan Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, Rendra, Ajip Rosidi, dan sejenisnya.

Kamis, 26 Maret 2015

Makian

Ahok kemarin maki maki orang, dan banyak yang dukung. Trus, banyak yang protes soal UU ITE yang katanya bermasalah dan mengekang kebebasan berekspresi. Nah, Saut Situmorang itu gimana dong?

Indikator

Terkait penjemputan paksa penyair Saut Situmorang yang merupakan salah satu indikator dari bangkitnya kekuatan fasis di ranah kebudayaan Indonesia, mari kita kumpulkan dukungan sebanyak-banyaknya untuk melawan! ‪#‎savesaut‬ (Wijaya Herlambang)

Melawan

"Saya akan melawan dia( Fatin Hamama dan Denny JA). Saya siap melawan!" Begitu kata Saut Situmorang dalam menanggapi kriminalisasi dirinya oleh Polres Jakarta Timur. Ia sekarang sedang bersiap dibawa paksa ke Jakarta dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Fatin Hamama. Kita semua tahu siapa yang berada di balik Fatin Hamama. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali: Lawan! (Dwi Cipta)

Senin, 23 Maret 2015

Gerakan Mahasiswa

Hampir setengah abad sejak genosida politik 1965-66, rumusan problem politiknya nggak maju-maju. Selalu memandang aksi protes mahasiswa dari kacamata moral. Berhadapan dengan kekuasaan (politik) negara, 'gerakan mahaisswa' dianggap sebagai penjelmaan sosok seorang resi, tanpa pamrih, disanjung-sanjung non-partisan membela rakyat. Kaum terpelajar di negeri ini memang gemar memamah biak mitos! (Harry Wibowo)