Kamis, 25 September 2014

Pendidikan Kita

Catatan ini masih menjadi bagian dari argumen penolakan saya atas rencana pemerintahan baru untuk memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian. Dalam sebuah karangannya, "Memajukan Pendidikan Tinggi" (1998), Profesor Teuku Jacob (1929-2007) memberikan catatan penting terhadap soal pengajaran di perguruan tinggi. Menurutnya, kegiatan mengajar seolah menempati kasta paling rendah jika dibandingkan dengan Tridarma perguruan tinggi lainnya. Penelitian, misalnya, memiliki gengsi yang tinggi dan menentukan status akademis seorang dosen. Konsekuensi imbalannya juga besar, terutama yang berasal dari penelitian-penelitian pesanan. Kegiatan pengabdian juga kurang lebih serupa.


Sebaliknya, kegiatan mengajar dianggap kegiatan rutin, berimbalan rendah, dan tidak menaikan gengsi. Hal ini kemudian mengakibatkan kekeliruan yang fatal, karena kemudian kegiatan mengajar dan tatap muka dengan mahasiswa lebih banyak dilimpahkan kepada dosen-dosen muda, sementara dosen-dosen senior lebih banyak terlibat dengan proyek-proyeknya. Hal yang demikian, menurut Pak Jacob, telah semakin menurunkan mutu hasil pendidikan.

Pembelajaran tatap muka sangat penting bagi para mahasiswa, dan sangat baik jika itu dilakukan oleh dosen-dosen senior. Itu sebabnya guru besar bioantropologi ragawi UGM itu, yang merupakan ilmuwan pelopor dalam bidangnya, tak segan menyebut bahwa kegiatan pengabdian paling utama di perguruan tinggi adalah mengajar. Sekali lagi: MENGAJAR.

Lebih jauh, ia menyebut bahwa sebenarnya konsep Tridarma itu sudah waktunya untuk direvisi menjadi Caturdarma. Ilmu pengetahuan, menurutnya, harus disebarluaskan (Pengajaran), dikembangkan (Penelitian), diterapkan (Aplikasi) dan dilestarikan (Ditulis, Dikoleksi).Itu dilakukan untuk menghindari kekaburan pengertian "pengabdian", karena kegiatan pengabdian paling penting di perguruan tinggi adalah pengajaran.

Pak Jacob bukan hanya pendidik, dia seorang guru besar, dan ilmuwan pelopor dengan reputasi yang mendunia. Satu lagi, ia pernah menjadi Rektor UGM, perguruan tinggi dengan jumlah fakultas, jurusan, dan mahasiswa terbesar di Indonesia. Dan dalam karangannya mengenai perguruan tinggi, dia tidak bicara mengenai riset, melainkan mengenai pengajaran.

Mereka yang memahami filosofi pendidikan serta paham mengenai fungsi dan kedudukan universitas, pasti memiliki pandangan tegas bahwa tugas universitas sebagai sebuah lembaga adalah melakukan kegiatan pendidikan. Sementara, kegiatan riset per se menjadi tanggung jawab personal para sarjananya. Paling jauh, sebagai sebuah lembaga universitas hanyalah menyediakan iklim akademik yang kondusif, sehingga seluruh kegiatan akademik, mulai dari pengajaran, penelitian, aplikasi, dan pelestariannya, bisa berjalan dengan baik.

Kegiatan penelitian, menurut Pak Jacob, mestinya tidak mengurangi kegiatan tatap muka dengan mahasiswa. Yang selama ini menyita waktu para dosen di Indonesia, sehingga mereka seolah kehilangan waktu untuk mengajar, adalah kegiatan administratif yang nir-ilmiah dan non-edukatif, seperti penataran, upacara, sertifikasi, dan lain sejenisnya.

Oleh karenanya, rencana pemerintahan baru untuk memisahkan pendidikan tinggi menjadi kementerian sendiri, harus kita pertanyakan. Apalagi, rencana itu tidak didukung oleh konsep yang jelas dan terbuka.

Selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa dosen-dosen paling cemerlang di berbagai perguruan tinggi kita telah menjadi bagian dari infrastruktur pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka dipekerjakan di berbagai posisi dan jabatan, sehingga waktu mereka habis di luar kampus. Paling banter mereka hanya bisa kembali ke kampus dan bertemu mahasiswa di akhir pekan saja.

Dengan situasi dunia pendidikan tinggi yang demikian, apa yang bisa kita bayangkan dengan rencana penyatuan Dirjen Dikti dengan Kementerian Riset dan Teknologi? Tradisi dan iklim riset model apa yang bisa dibikin oleh kondisi semacam itu? Bukankah itu malah akan kian meruntuhkan mutu pendidikan kita?

Apa jadinya dunia pendidikan tinggi kita jika sivitas akademiknya kemudian tak hanya cukup menjadi infrastruktur pemerintah, namun juga menjadi infrastruktur pasar? Bagaimana nasib pendidikan kita ke depannya?

Kita butuh orang-orang waras yang mengerti betul esensi pendidikan. Dan bukan sekadar pintar mengkomodifikasikannya, atau malah menjadikannya sekadar kendaraan politik saja.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar