Rabu, 24 September 2014

Dicari: Menteri Pendidikan yang Punya Konsep

Dalam sejarah kita, hanya sedikit menteri pendidikan yang bisa disebut memiliki konsep yang jelas dan matang mengenai pendidikan dan kebudayaan. Tentu saja, Ki Hadjar, menteri pendidikan kita yang pertama, adalah salah satunya. Di luar Ki Hadjar, saya mencatat bahwa Sarino Mangunpranoto dan Daoed Joesoef, adalah dua dari sedikit menteri pendidikan setelahnya yang juga punya konsep yang jelas dan matang.

Ada tiga gagasan Ki Hadjar yang biasanya secara sederhana sering diringkaskan sebagai teori "Triple-Tri". Ya, ada tiga teori "tri" (sehingga bisa disebut "Triple-Tri") yang bisa kita anggap mewakili bagaimana pemikiran Ki Hadjar mengenai tiga soal penting yang saling kait mengait, yaitu pendidikan, kebudayaan dan kepemimpinan.

Kita lazim mendengar istilah "ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Tiga konsep itu merupakan konsep Trilogi Kepemimpinan yang diajarkan Ki Hadjar. Tidak perlu dijelaskan lagi artinya, karena waktu zaman saya sekolah dasar, sejak sangat dini tiga ajaran itu selalu diulang-ulang dijelaskan oleh guru.

Konsep tri yang kedua, selain Trilogi Kepemimpinan, adalah Trikon Kebudayaan, yaitu "kontinuitas", "konsentrisitas", dan "konvergensi". Ini adalah konsep yang diajukan Ki Hadjar untuk memajukan kebudayaan nasional. "Kontinuitas" mengandaikan adanya perawatan atas nilai-nilai budaya yang telah ada. "Konsentrisitas" menegaskan bahwa dalam kancah pergaulan dengan kebudayaan lain, maka kebudayaan bangsa sendiri mestinya dijadikan pusat atau acuan. Dan "konvergensi" menunjukkan bahwa meskipun kebudayaan dalam tiap bumi-manusia itu berbeda-beda, pada hakikatnya semua kebudayaan itu menuju kepada satu arah: universum. Kebudayaan dan relasi-kebudayaan mestinya dikembangkan dengan merujuk kepada teori Trikon ini.

Dan konsep tri terakhir adalah teori Tripusat Pendidikan. Teori tersebut mengenai pengelolaan pendidikan nasional yang mengakui adanya tiga pusat pendidikan, yaitu alam-keluarga, alam-perguruan, dan alam-kemasyarakatan. Dalam pemikiran Ki Hadjar, tiga lingkungan yang membentuk pendidikan nasional itu harus bersinergi. Pemikiran inilah yang absen dalam perbincangan kita mengenai pendidikan hari ini, paling tidak dalam dua puluh atau dua puluh lima tahun terakhir. Jika meninjau teori Ki Hadjar, maka pengertian "privatisasi pendidikan" kini mestinya bukan hanya digunakan untuk merujuk kepada pengertian makin lepas tangannya negara dari pendidikan, tapi juga makin menyempitnya penyelenggaraan pendidikan hanya kepada yang diselenggarakan oleh alam perguruan saja (baca: sekolah). Runyamnya dunia pendidikan kita berawal dari dilupakannya tripusat pendidikan sebagaimana dikemukakan Ki Hadjar tersebut.

Masalah kita kini menjadi kian gawat karena alam perguruan kemudian cenderung menganut pendekatan "konvergensi" dalam penyelenggaraan pendidikan: sekolah Indonesia menganut kurikulum Oxford, siswa di Maluku diuji dengan indikator yang sama dengan siswa di Jakarta.

Celakanya, sebelum masalah-masalah mendasar itu dibenahi, pemerintahan baru kini sedang merancang untuk melakukan lompatan kebijakan, yaitu dengan berencana memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian yang berbeda.


Kita sebenarnya sedang sangat butuh memiliki menteri pendidikan yang punya konsep dan pemikiran yang mendalam, tak sekadar bergelar tinggi, populer dan pandai berkata-kata. Akankah ini kembali jadi utopia? Terus terang saya termasuk orang yang pesimis.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar