Rabu, 24 September 2014

Soal Riset dan Perguruan Tinggi Kita: Sebuah Catatan dari Bulaksumur

Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Kepala P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat)

Rencana pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menjadi dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, terus terang cukup merisaukan, karena kita tidak pernah disodori dan mengetahui konsepnya. Berbeda dengan bidang lain, pendidikan seharusnya tidak tunduk kepada logika siklus kekuasaan, dimana setiap pemerintahan baru hasil Pemilu bisa begitu saja mengubah dan mengotak-atik sistem pendidikan sekehendaknya.

Tentu saja itu tak berarti kita tak boleh atau tak berhak melakukan perubahan terhadap sistem dan tata kelola pendidikan nasional, melainkan agar setiap perubahan terkait dengan dunia pendidikan seharusnya lahir dari telaah yang matang serta telah melewati pembahasan terbuka yang melibatkan banyak ahli. Pendidikan bukanlah sesuatu yang hari ini kita tanam lalu bisa dilihat hasilnya dalam satu atau dua tahun ke depan. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang baru bisa dilihat hasilnya setelah lima belas hingga dua puluh tahun berlalu. Oleh karenanya ia harus ditetapkan dengan konsep yang matang.

Terkait dengan argumen bahwa pemisahan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) menjadi dua kementerian berangkat dari adanya kebutuhan yang berbeda antara jenjang pendidikan tinggi dengan jenjang-jenjang di bawahnya, itu merupakan argumen yang terlalu menyederhanakan persoalan. Juga pengandaian bahwa penyatuan Dirjen Dikti dengan Kementerian Riset dan Teknologi akan membuat kegiatan riset di perguruan tinggi menjadi lebih intensif, tentu saja mengaburkan masalah.

Saat ini, meskipun kita hanya memiliki satu kementerian yang mengurusi pendidikan, dalam praktiknya sistem pendidikan nasional kita masih diselenggarakan oleh banyak kementerian. Kita tahu, lembaga pendidikan dan perguruan tinggi keagamaan, misalnya, berada di bawah domain Kementerian Agama. Di luar itu, masih ada banyak kementerian, serta lembaga setingkat kementerian lainnya, termasuk lembaga-lembaga dinas di bawahnya, yang menyelanggarakan pendidikan kedinasan, baik selevel pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi, yang rumah tangga pengelolaannya terpecah antara Kemdikbud dengan kementerian-kementerian dan lembaga terkait. Secara kelembagaan, menambah satu lagi kementerian yang mengatur soal pendidikan, tentunya akan membuat tata kelola pendidikan kita semakin terkompartementalisasi.

Apakah penyatuan Dirjen Dikti dengan Kemristek akan membuat kegiatan riset di perguruan tinggi menjadi lebih bergairah dan terarah? Saya khawatir harapan itu sekadar menggantang asap saja, karena tidak berangkat dari kondisi riil yang ada di lembaga perguruan tinggi kita. Sebagai gambaran, apa yang terjadi di UGM berikut ini mungkin bisa dijadikan referensi, betapa soal riset tidaklah sesederhana soal tersedianya sumber daya. Akar-akar masalah terkait riset seringkali berada jauh di luar soal riset itu sendiri, yang itu membutuhkan pembenahan terlebih dahulu menyangkut soal pendidikan secara umum.

Pada 2009 saya melakukan wawancara terhadap sejumlah dosen senior dan guru besar di UGM mengenai bagaimana persepsi mereka terkait visi World Class Research University (WCRU), yang saat itu kebetulan sedang ramai menjadi “jualan” UGM. Kegiatan wawancara itu dilakukan untuk melengkapi sebuah penelitian yang disusun oleh Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM. Berdasarkan hasil wawancara-wawancara itu, secara umum bisa disimpulkan bahwa visi menuju “World Class Research University” masih bersifat mengawang, dalam arti visi itu belum menjawab problem-problem mendasar yang ada di UGM. Karena belum menjawab problem-problem mendasar tadi, oleh karenanya visi itu belum berpijak pada realitas-nyata UGM. Paling tidak, menurut hasil wawancara itu, saya mencatat ada dua problem mendasar yang harus diselesaikan sebelum UGM mulai bicara mengenai WCRU.

Problem mendasar pertama adalah soal kelembagaan riset di UGM. Di lingkungan UGM, misalnya, terdapat 18 fakultas dengan lebih dari 60 program studi, sekolah pascasarjana (yang membawahi program master dan doktor antar-bidang), Pusat Antar Universitas (PAU), LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat), serta puluhan pusat studi, yang kesemuanya melakukan kegiatan riset. Selama ini riset-riset itu dilakukan secara sendiri-sendiri, sehingga antara satu riset dengan riset lainnya, atau antara riset di satu tempat dengan tempat lainnya, hampir tidak ditemukan benang merah. Universitas menjadi semacam kumpulan unit kegiatan tapi tanpa “institusi”, sehingga capaian hasilnyapun sukar untuk diukur.

Masalah mendasar kedua adalah soal academic community (masyarakat akademik). Tanpa terbentuknya masyarakat akademik, visi WCRU tidak akan sanggup menjawab pertanyaan mengenai “riset apa” yang harus dilakukan oleh UGM untuk mengembangkan dirinya, “darimana dananya”, serta “untuk apa” kegiatan riset diabdikan dan “oleh siapa” hasil riset nantinya akan dinikmati. Jika dua persoalan dasar itu belum dipecahkan, maka WCRU hanya merupakan sebuah slogan kosong, meaningless, mean nothing.

Soal Kelembagaan

Soal kelembagaan riset sebenarnya bisa dipecahkan dengan adanya institusi payung, yang bertugas untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan penelitian yang ada di UGM. Fungsi sebagai institusi payung itu hingga saat ini belum ada di UGM. LPPM juga tidak memainkan fungsi itu. Untuk membangun sebuah institusi payung yang bertugas mengkoordinasi, mengorganisasi, dan memantau riset-riset yang dilakukan oleh sivitas akademik, dibutuhkan reorganisasi besar-besaran di tingkat kelembagaan universitas. Salah satu masalah di wilayah kelembagaan ini adalah tidak jelasnya kaitan antara satu unit kerja dengan unit kerja lainnya, baik antar-unit yang ada di kantor pusat UGM (KPTU, Kantor Pusat Tata Usaha), maupun antara unit-unit itu dengan institusi lain di luarnya, semisal fakultas, jurusan, dan pusat studi.

Pusat-pusat studi, misalnya, selama ini secara finansial mereka harus menghidupi dirinya sendiri. Dengan keadaan seperti itu, agak susah mengharapkan bahwa kegiatan riset yang dilakukan pusat studi tidak bersifat sporadis dan tanpa identitas. Begitu juga dengan bertambahnya unit-unit yang ada di KPTU, seperti unit penjaminan mutu, serta sejenisnya, patut dipertanyakan apakah kehadiran unit-unit itu terintegrasi dalam sebuah sistem kerja yang padu atau tidak. Sebab, jangan-jangan UGM sebenarnya baru sebatas menjadi kumpulan unit kerja; baru sebatas sebuah kerumunan (crowd), tapi (sekali lagi) tanpa institusi.

Masih berkaitan dengan soal kelembagaan, banyak dosen dan guru besar yang menyebut bahwa pencapaian yang saat ini diraih UGM sebenarnya belum bisa disebut sebagai pencapaian lembaga. Artinya, apa yang selama ini disebut sebagai “prestasi UGM”, sebenarnya lebih merupakan “prestasi individu-individu di UGM”. Dengan kata lain, prestasi itu lebih banyak disebabkan oleh talenta individual, dan bukan dikarenakan dukungan kelembagaan, entah itu berupa iklim akademik yang kondusif, buah dari manajemen sumber daya, ataupun dukungan kelembagaan lainnya.

Lemahnya kontribusi kelembagaan juga bisa dilihat dari model hibah penelitian yang melulu bersifat kompetisi. Dengan model itu, kewajiban universitas untuk melatih staf akademik dalam kegiatan riset menjadi terkesampingkan, karena universitas hanya berusaha menyaring proposal riset yang sudah jadi dan matang.

Kompetisi mestinya tidak menjadi tahap pertama, melainkan tahap kesekian, setelah kualitas sumber daya sivitas akademik dibenahi. Selain itu, dengan model kompetisi, apa yang ingin dicapai oleh UGM menjadi kabur, karena topik riset dari model hibah-kompetitif lebih banyak mewakili gagasan individual dan kurang mewakili gagasan kolektif yang bersifat kelembagaan. Pada akhirnya, UGM sebagai sebuah lembaga tetap tidak memiliki prioritas mengenai riset apa yang akan dan harus dikembangkan.


Kritik terhadap masalah kelembagaan lainnya adalah bahwa WCRU, dengan kumulasi dananya yang demikian besar, belum berjalan efisien dan efektif. Visi WCRU misalnya secara dangkal lebih sering dimaknai sebagai “internasionalisasi”. Celakanya, apa yang disebut sebagai “internasionalisasi” itupun kemudian direduksi lagi menjadi sekadar “kunjungan ke luar negeri”, “mengundang dosen asing”, “membuka kelas internasional”, atau “menyelenggarakan dual degree/sandwich program”. Sehingga, apa yang sebenarnya terjadi hanyalah sekadar “internasionalisasi sampul-muka”, alias sekadar permak wajah atau kemasan (packaging), dan bukan “internasionalisasi mutu” yang lebih bersifat substantif. Dengan kata lain, kehadiran dosen dan mahasiswa asing, atau dibukanya sandwich program baru merupakan simpton atau gejala saja, tapi tidak sepenuhnya mewakili substansi dari sebuah perguruan tinggi dengan kualitas (riset) mendunia. Tentunya merupakan sebuah salah kaprah jika simpton didudukkan sebagai (atau bahkan menggantikan) substansi.

Secara substantif, dana WCRU yang sangat besar sebenarnya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas berbahasa asing staf pengajar dan para peneliti, atau untuk membentuk sebuah unit yang bertugas untuk menerjemahkan karya-karya tulis terpilih staf pengajar dan para peneliti ke dalam berbagai bahasa asing sehingga bisa diakses oleh masyarakat internasional. Jadi, meski secara individual misalnya penguasaan bahasa asing sivitas akademik UGM tidak merata, tapi secara kelembagaan ada solusi yang bisa menambal kekurangan itu dimana karya-karya penting tetap bisa dipublikasikan secara internasional dan dapat diakses oleh para sarjana di luar negeri.

Pada titik ini, UGM harus mendukung dan mendorong lembaga penerbitan universitas, dalam hal ini Gama Press (atau GMUP, Gadjah Mada University Press), agar tak hanya mencetak buku-buku teks, melainkan terutama untuk aktif menyigi dan mempublikasikan karya-karya hasil riset serta berbagai bentuk gagasan keilmuan lainnya. Kemudahan untuk mempublikasikan karya itu selain untuk merangsang para pengajar dan peneliti untuk lebih produktif berkarya, juga sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban atas proyek-proyek riset yang dikerjakan.

Bukan merupakan rahasia umum lagi jika sejauh ini riset-riset yang berbiaya sangat mahal sekalipun kebanyakan hanya menghasilkan laporan penelitian yang teronggok di meja para penelitinya, selain tentu saja laporan yang disampaikan ke para penyandang dananya. Dengan demikian laporan-laporan itu bukan hanya sulit diakses oleh publik, tetapi juga sulit diakses oleh para peneliti lainnya, baik di lingkungan intra-fakultas maupun dalam satu universitas. Belum lagi, laporan-laporan itu biasanya diselesaikan dengan standar penulisan yang sekadar mencukupi ketentuan yang diminta oleh para penyandang dana dan tidak terlalu berminat untuk memenuhi kualifikasi akademik yang terperinci dan mendalam.

Penting juga untuk mencatat bahwa universitas masih lebih mementingkan pertanggungjawaban yang bersifat administratif-finansial daripada akademik-substansial dalam penyusunan sebuah laporan penelitian. Hal inilah yang kemudian menyebabkan para peneliti lebih sibuk mengurus laporan keuangan daripada menjaga mutu keilmuan penelitiannya.

Soal kelembagaan lain adalah mengenai rasio dosen dan mahasiswa. Kegiatan pengajaran, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat mestinya mendapat bobot yang proporsional di level operasional. Masalahnya, Tridharma Perguruan Tinggi tidak akan pernah bisa diimplementasikan jika rasio dosen dan mahasiswa sangat tinggi. Masalah ini kadang dianggap sepele dan teknis, padahal implikasinya sangat serius. Dengan rasio dosen dan mahasiswa yang tinggi, misalnya, staf pengajar akan cenderung lebih banyak disibukkan oleh kegiatan mengajar di dalam kelas, sehingga waktu untuk mengerjakan dua dharma lainnya menjadi berkurang. Atau juga sebaliknya, jika kegiatan penelitian diintensifkan, kewajiban mengajar, misalnya, menjadi tidak tertunaikan.

Kemungkinan untuk memberikan liburan sabatikal (sabbatical leave) bagi staf pengajar juga hanya dimungkinkan jika rasio dosen dan mahasiswa rendah, sehingga kewajiban setiap staf pengajar yang sedang mengambil liburan sabatikal bisa digantikan oleh staf pengajar lainnya.

Soal Masyarakat Akademik

Jika soal kelembagaan lebih bersifat material-struktural, maka soal masyarakat akademik (academic community) lebih bersifat abstrak-etikal. Keduanya bersifat saling melengkapi satu sama lain. Sebagai contoh, UGM akan kesulitan mendorong hadirnya curiosity pada para peneliti, yang akan berimplikasi pada sebuah penelitian dengan elaborasi intelektual yang mendalam, jika model pertanggungjawaban sebuah penelitian lebih banyak menekankan aspek administratif-finansial, atau jika remunerasi yang diterima para peneliti sangat kecil jumlahnya.

Tentu saja soal kendala finansial, misalnya, secara substantif tidak bisa dijadikan alasan oleh para peneliti untuk mengabaikan curiosity dan etos intelektual pada tiap kegiatan ilmiah yang dilakukannya. Persis di sinilah perlu diperhatikan benar distingsi antara aspek kelembagaan dari kehadiran masyarakat akademik.

Catatan besarnya, meskipun secara material semua kebutuhan untuk mewujudkan sebuah universitas riset berkelas dunia telah dimiliki UGM, tanpa kehadiran sebuah masyarakat akademik yang hidup, semua fasilitas itu tidak otomatis akan memproduksi penelitian berkualitas.

Soal keberadaan masyarakat akademik ini patut diberikan catatan tebal, agar UGM tidak terlalu asyik dengan pembenahan yang bersifat teknis-manajerial semata, sebagaimana yang umpamanya diwakili oleh idiom-idiom seperti good university governance, quality assurance, dan sejenisnya. Meski secara kelembagaan berbagai hal itu penting untuk diperhatikan, namun berbagai hal itu tidak menjadi ibu dari apa yang disebut masyarakat akademik, masyarakat yang terus memproblematisasi dan memproduksi ilmu pengetahuan. Sederhananya, remunerasi memang bisa merangsang curiosity, tapi ia bukanlah penyebab dari hadirnya curiosity.

Ada atau tidak adanya masyarakat akademik di UGM bisa dilihat dari muncul atau tidaknya apa yang bisa disebut school of thought. Jika benang merah school of thought tidak bisa diraba atau dikenali, maka sebenarnya tidak ada masyarakat akademik di UGM, yang ada hanyalah kumpulan sivitas akademik dengan sejumlah rutinitas administrasi-akademik. Sampai di sini, dalam aspek pembentukan masyarakat akademik ini, UGM sebenarnya belum lagi mulai berbenah.


Cukup jelas bahwa soal riset di perguruan tinggi ini bukanlah soal yang bisa dipecahkan begitu saja dengan memisahkan Dirjen Dikti menjadi kementerian sendiri. Itu adalah persoalan-persoalan yang satu sama lain berbeda. Menganggapnya sebagai berimpit, dengan tawaran solusi berupa kelembagaan baru, justru semakin memberikan bukti latar belakang ide pemecahan Kemdikbud itu sama sekali tidak memiliki konsep yang jelas, apalagi matang.

Bulaksumur, 24 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar