Jumat, 23 Januari 2015

Lagi, Soal Centeng

Saya kemarin dianggap tendensius ketika menyebut bahwa Kapolri dan Jaksa Agung merupakan "centeng hukum" istana. Apa yang kita tonton hari ini, dari peristiwa penangakapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri, sebenarnya bisa memberikan konfirmasi.

Sayangnya, seperti halnya kasus "Cicak versus Buaya", publik akan kembali melihat kasus hari ini sebagai kasus "KPK versus Polri", bukan "KPK versus Istana". Padahal, usaha untuk mengkriminalisasikan KPK selalu terjadi ketika lembaga tersebut sedang berusaha mengusut dapur istana. Pada 2009, ketika Ketua KPK Antasari Azhar ditangkap pada bulan Mei, dan kasus "Cicak versus Buaya" meledak beberapa bulan setelahnya, kita tahu KPK sedang mengusut soal Century. Hari ini, kita juga tahu bahwa KPK tengah menjanjikan mengusut kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (Release and Discharge) BLBI yang dikeluarkan pada masa Presiden Megawati. Keduanya sama-sama (kasus) "big fish".

Menarik untuk memperhatikan bahwa dua usaha "kriminalisasi" terhadap (para) komisioner KPK tadi terjadi persis menjelang dan selepas Pemilu. Dan dua-duanya juga punya irisan dengan soal Pemilu. Selain Century, dalam kasus Antasari, dia sempat diberitakan sebagai sedang mengusut kasus pengadaan sistem teknologi informasi di KPU yang memang bermasalah. Sayang, kasus itu kemudian tak jelas juntrungnya.

Apakah kasus pengadaan sistem IT KPU itu terkait dengan dan mempengaruhi hasil Pemilu 2009? Kita jadi tak pernah tahu.

Dalam konteks hari ini, Ketua KPK Abraham Samad bukan sekadar beririsan dengan Pemilu, ia bahkan secara politik, meski ini baru sebatas tuduhan dan pengakuan sepihak, terlibat dalam praktik politik dagang sapi Pilpres 2014. Kita patut bertanya, apa perbedaan yang bisa dibuat oleh rencana keterlibatan Samad dalam Pilpres kemarin, meskipun kemudian ia tak jadi ditarik menjadi calon wakil presiden oleh PDI-P?! Sebab, satu-satunya posisi tawar yang kuat dari seorang Samad hanyalah posisinya sebagai ketua lembaga "super body" KPK.

Jika sebuah lembaga dengan standar etik dan pengawasan ketat seperti KPK bisa "dimasuki" kail politik semacam itu, apakah hal yang sama tak dialami oleh lembaga penyelenggara Pemilu kemarin?! Yang terakhir ini adalah pertanyaan spekulatif.

Kenapa saya menyebut konflik yang saat ini sedang berlangsung bukan antara "KPK versus Polri", melainkan antara "KPK versus Istana", karena ujung dari kasus kebijakan release and discharge BLBI bukan hanya akan menyentuh dan mengusik Megawati, melainkan terutama akan mengusik para obligor BLBI. Jangan lupa, bukankah kasus "Cicak versus Buaya" dulu juga melibatkan beberapa obligor BLBI?! Semua itu jauh lebih rumit dari sekadar soal Susno Duadji dulu dan Budi Gunawan kini.

Tapi bukankah Megawati sudah tak lagi di istana, dan tak ada obligor BLBI yang masuk kabinet?

Ah, mosok harus severbal itu jawabannya.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar