Rabu, 26 Agustus 2015

Kontra

Pada Pilpres 2009, dalam sebuah kampanye pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Win) di Sumatera, saya lupa persisnya, ditangkap seseorang yang menyebarkan buletin berisi 'black campaign' atas pasangan SBY-Boediono. Setelah ditelisik, penyebar itu ternyata bukan berasal dari tim kampanye JK-Wiranto, sebagaimana yang otomatis akan dikira oleh kebanyakan orang, tapi dari sebuah lembaga konsultan politik terkenal yang justru menukangi kampanye SBY-Boediono sendiri.

Tujuan penyebaran buletin itu, yang secara atraktif dilakukan di depan wartawan, meski materinya memang bersifat menjatuhkan SBY, sebenarnya adalah untuk menjatuhkan kredibilitas JK. Karena, dengan adanya penyebaran buletin semacam itu di lokasi kampanyenya, opini banyak orang akan tergiring pada kesimpulan bahwa JK telah menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan SBY.

Sayangnya, operasi "kontra-intelijen" itu gagal karena segera ketahuan. Bahkan, peristiwa itu sempat jadi obyek liputan televisi. Kalau ada yang masih ingat, pada hari itu malamnya kita bisa menyaksikan seorang doktor lulusan luar negeri, yang merupakan salah satu pendiri lembaga konsultan tadi, berkelit kesana-kemari di layar kaca mengobral pernyataan-pernyataan retoris yang, sayangnya, cukup mengalihkan perhatian.

Nah, hal-hal semacam itu bisa dan biasa terjadi dalam berbagai bentuk kompetisi. Apalagi di dunia politik.

Maka, ketika dalam Pilpres lalu isu tentang Tabloid Obor Rakyat demikian mencuat, terus terang saya tidak tertarik. Bagi saya, tabloid itu adalah sampah musiman yang tak patut diperhatikan. Yang mestinya jadi perhatian, demikian pandangan saya waktu itu, adalah kenapa media-media besar mainstream, yang mestinya jadi barometer standar dan etika jurnalistik, malah ikut-ikutan melacur dan menyampah di tengah kontestasi politik yang sangat berpotensi melahirkan konflik horisontal waktu itu?!

Menghiraukan Obor Rakyat, tapi mengabaikan pelacuran media-media mainstream, itu tak ubahnya seperti (maaf) sedang berkumur dengan air seni. Hanya orang bodoh yang mengira mulutnya akan jadi lebih bersih!

Terbukti, tak perlu setahun, kita kemudian menemukan bahwa orang-orang yang terkait Obor Rakyat malah mendapat jatah kue kekuasaan.

Jadi, Obor Rakyat itu sebenarnya bekerja untuk kepentingan siapa?!

Kembali ke pokok awal, operasi kontra-kontra semacam itu lazim terjadi. Kelas isunya mulai dari yang comberan, hingga sangat akademis. Oleh karenanya, berkaca dari pengalaman, jangan mudah terjebak pada isu-isu kulit. Meminjam Milan Kundera, di atas permukaan terdapat KEBOHONGAN yang MASUK AKAL; di bawah permukaan terdapat KEBENARAN yang TIDAK MASUK AKAL.

Mana yang akan Anda percayai, kebohongan yang masuk akal sebagaimana yang nampak di permukaan, atau kebenaran yang sayangnya seringkali tak masuk akal, karena berada di bawah permukaan tadi?!

Menyikapi isu terkini terkait rasialisme, menyusul kian terpuruknya nilai Rupiah, kita juga sebenarnya masih berada di arena permainan yang sama. Jadi, mbok agak cerdas. Jangan mudah terpancing gitu.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar