Kamis, 08 Oktober 2015

Buku

Dia adalah pembaca buku. Beberapa kali aku menemukannya sedang membaca buku justru ketika kami kawan-kawannya, asik bercengkrama ke barat dan timur. Kadang aku menjumpainya sedang membaca buku di lobi hotel, kadang di warung saat kami makan siang atau sekadar minum kopi. Dia akan tetapi mengaku lebih sering membaca buku di kamar mandi, di WC, saat sedang buang hajat beberapa waktu sebelum mandi pagi. Dia memang pembaca buku yang tabah dan setia di tengah zaman yang menuntut orang hanya sibuk dengan gawai, gadget itu.

Beberapa kali aku mencuri baca beberapa buku yang dibacanya bila dia sedang jedah dan meletakkan bukunya di meja atau di kursi. Sebagian adalah buku-buku yang belum aku baca, dan sering aku dibuat terkejut oleh caranya meninggalkan jejak pada buku-buku yang dibacanya: melipat ujung halaman ke dalam sebagai tanda pembacaannya baru sampai pada halaman yang ujungnya dilipat dan membentuk segitiga tak beraturan itu.

Aku pernah bertanya padanya mengapa melipat halaman buku seperti itu, dan dia menjawab, begitulah sebuah buku semestinya dibaca: meninggalkan jejak. Kumal, penuh coretan, dan lain-lain. “Kadang aku merobek halaman buku yang menurutku tak perlu ada.”

Aku tak bermaksud menyamakan caraku membaca buku dengan caranya membaca, tapi caranya membaca buku sedikit mirip dengan caraku membaca buku, meski aku tak seberani dia untuk merobek halaman buku. Usaha paling keras yang sering aku lakukan terhadap buku yang isinya menurutku penuh kesalahan ejaan, logika, fakta dan karena itu perlu dikoreksi, hanyalah mencoret beberapa kalimat atau kata dan mengggantinya dengan kalimat-kalimatku sendiri, atau mencoret seluruhnya.

Goenawan Mohamad pernah bercerita padaku, dia sering membuat catatan di tepi halaman buku yang dibacanya sebagai koreksi atau pengingat. Dia menyebutnya “catatan pinggir”, sideline, dan sebutan itu yang digunakannya sebagai nama halaman terakhir majalah Tempo. Orang-orang kemudian menyebutnya sebagai “caping” singkatan dari catatan pinggir; mungkin karena ingin praktis dan agar mudah diingat, mirip kebiasaan para tentara atau polisi yang selalu menyingkat-nyingkat istilah.

Dulu ketika berkuliah di Malang, aku sering menandai halaman buku yang sedang aku baca dengan menyundutkan bara kretekku. Bolong, dan aku senang melihat bentuknya yang tidak beraturan dengan tepinya yang berwarna kehitaman. Saat-saat seperti itu, aku lalu membayangkan bolong-bolong karena bara rokok di ujung halaman buku itu, sebagai sebuah pulau, sebuah danau, yang entah di mana. Cara itu aku lakukan sekaligus untuk membedakan bukuku dengan buku-buku milik kawan-kawanku atau orang lain, dan bila mereka mencurinya, aku bisa dengan mudah menemukannya kembali.

Aku akan tetapi bukan pembaca buku yang setia seperti dia karena tak setiap waktu aku membaca buku. Aku biasanya membaca buku saat hendak tidur malam, dan hampir pada setiap malam Jumat, aku akan selalu menghabiskan sebagian besar malamku dengan membaca buku usai membaca Yaasin atau Alkahfi. Aku juga akan membaca buku di ruang tunggu bandara, di dalam pesawat, di kereta atau di kendaraan lainnya bila kebetulan aku sedang bepergian. Bukan untuk membunuh waktu melainkan karena aku memang ingin membaca setelah diburu rutinitas yang tanpa juntrungan.

Beberapa kali aku membaca buku di WC saat buang hajat sebelum mandi pagi, dan menurutku saat-saat seperti itu memang saat yang paling mujarab untuk membaca, meski aku kemudian menghindarinya karena seringkali berakibat fatal: beberapa buku tertinggal di toilet bandara, basah karena tersiram atau terciprat air, dan sebagainya. Aku memang bukan manusia multitalenta yang bisa mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus.

Lalu tadi pagi, entah kenapa aku ingin kembali mencoba membaca buku di WC dan aku benar membacanya di WC. Kata per kata. Menikmati isinya hingga tak terasa 20 halaman selesai aku baca. Problemnya, kejadian sebelum-sebelumnya kembali terulang: buku yang aku baca tersiram air. Sampulnya basah, juga beberapa halaman buku, dan buku yang aku baca adalah buku milik dia.Sebuah buku baru yang terbit Juni silam, dan baru dibelinya bulan lalu.

Buku itu tertinggal di kamarnya, pada hari ketika dia dan aku pindah kamar. Petugas hotel telah menyimpannya, dan kemarin, saat dia sudah bertolak ke kotanya, petugas hotel menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dengan senang hati tentu saja, dan niscaya aku telah menjauhkan niat untuk mengembalikan buku itu padanya. Aku akan memilikinya, dan tulisan ini adalah pemberitahuanku padanya bahwa buku barunya yang belum selesai dia baca itu, telah aku curi. Mungkin dia akan marah, tapi aku berharap dia akan mengikhlaskannya, dan mudah-mudahan dia mendapat rezeki untuk membeli lagi buku itu, dan buku-buku lainnya.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar