Kamis, 08 Oktober 2015

Pucat

Aku merasakan sedikit demam ketika benar-benar bangun dari tidur pukul 7 malam. Usai mandi, aku melihat sepotong kota Surabaya melalui jendela kamar hotel.

Ada lebih dari 500 kota yang tumbuh di Indonesia dengan pesat. Sangat cepat. Kalau ukuran tumbuh adalah ramai dan pikuk. Tapi kurang dari 20 kota yang tumbuh dengan baik. Salah satunya: Surabaya.

Limabelas tahun yang lalu, Surabaya adalah kota yang semerawut, panas, kotor. Tapi mulai sepuluh tahun lalu, kota ini terlihat membaik. Rindang. Apik. Bersih.

Kalau datang ke kampung-kampung di Surabaya, rumah-rumah penuh tumbuhan. Kampung-kampung punya taman. Sungai dan selokan makin bersih.

Memang masih ada ruas-ruas jalan yang macet, kotor, semerawut, tapi masih dalam batas toleransi. Sebuah kota yang tumbuh dengan baik, niscaya juga menumbuhkan adab yang baik. Juga perasaan yang baik. Semacam kebahagiaan.

Setelah mengenakan jaket, aku turun ke lobi. Kali ini aku memanggil taksi. Jarak 1200an kilometer dengan kebanyakan jalan yang bergelombang, rasanya membuat tubuhku terus merasa oleng.

Masih ada waktu satu setengah jam lagi untuk menemui Sahabatku. Aku meminta sopir taksi untuk keliling kota Surabaya sebentar.

Jam sembilan kurang lima menit, taksi sudah menurunkanku di lobi hotel Mercure. Pelan aku menuju kafe hotel itu. Musik lembut mengalun. Ada beberapa belas orang sedang duduk di sana.

Aku hampir memilih kursi ketika seorang laki-laki memberiku kode dengan lambaian tangan ke arahku. Sahabatku. Dia duduk di pojok. Aku menuju ke arahnya. Berpelukan. Duduk. Berhadap-hadapan.

Dia tampak sedikit pucat. Mungkin kecapekan. Memakai sweater merah marun dengan kaos polo di baliknya. Khas.

Bau harum menyebar dari tubuhnya. Segar. Dia tersenyum. Tak pernah lebar. Tapi tetap terasa hangat dan tulus. Tidak dibuat-buat.

"Harga tembakau sedang bagus, ya?"

Aku mengangguk. Sangat bagus musim ini. Harga cengkeh yang tak begitu bagus.

"Ada saran?"

Kalau punya uang, beli cengkeh sebanyak-banyaknya dan simpan. Tahun depan harganya melonjak tinggi.

"Sekarang di kisaran berapa?"

Delapan puluh ribu sampai sembilan puluh ribu. Tahun depan kuperkirakan minimal seratus lima pulu ribu. Tapi tidak menutup kemungkinan tembus seratus delapan puluh ribu.

"Kenapa bisa begitu?"

Curah hujan tinggi sepanjang tahun. Tahun depan harga tembakau juga jelek. Kalau punya teman petani tembakau ingatkan, jangan boros menggunakan uang besar yang didapat di musim ini. Musim depan panen buruk. Cuaca tidak mendukung.

"Curah hujan tinggi ya..."

Aku mengangguk pelan. Sepanjang tahun, jawabku. Tahun depan kopi juga tidak terlalu bagus, lanjutku.

"Bagaimana kabarmu?"

Aku mengangkat bahu.

Dia mengambil rokokku. "Minta ya..."

Aku mengangguk. Silakan.

"Keluarga sehat?"

Alhamdulillah...

Seorang pelayan datang, membawa buku menu. Kopi hitam dan air putih, ucapku tanpa menyentuh buku menu. Dan pisang goreng tanpa campuran apa-apa, susulku.

Pelayan itu mengangguk sambil tersenyum. Aku kembali menghadapkan mukaku ke Sahabatku.

"Mukamu pucat. Seperti sedang sakit."

Sedikit demam. Mukamu juga pucat.

"Sedikit kecapekan."

Sebuah grup musik bersiap. Tiga orang. Satu laki-laki memegang gitar, laki-laki yang satunya mempersiapka biola, dan seorang perempuan yang kemungkinan besar bertugas menyanyi sedang melepaskan ikat rambutnya sembari ngobrol dengan seorang laki-laki berjaket kulit yang tampaknya datang ke kafe itu khusus untuk menonton mereka.

"Kamu mengikuti kasus Salim Kancil?"

Aku mengiyakan. Mungkin aku akan dapat kesempatan wawancara dengan para pelaku jika situasi sudah reda.

"Kalau kamu punya waktu barang seminggu, susuri pantai selatan dari Lumajang sampai Banyuwangi. Kamu akan tahu betapa parahnya negeri ini. Pengrusakan lingkungan yang mengerikan."

Rakyat butuh makan dan mereka melihat alam sebagai satu-satunya yang bisa dikeruk.

"Mereka hanya jadi pekerja untuk mengeruk. Tapi yang kaya tetap pengusaha-pengusaha besar lokal, pejabat-pejabat lokal...."

Dan pengusaha-pengusaha Jakarta. Guntingku memotong kalimatnya.

"Ya, kamu tahu itu..."

Australia juga punya kepentingan dengan tambang-tambang di situ.

"Kamu tahu saja..."

Aku mengangkat bahu lagi. Kalau dibiarkan begini, seluruh tanah negeri ini secara formal saja milik Republik Indonesia. Sesungguhnya tidak.

"Kisah lama..."

Tapi terus terjadi.

"Dan tidak ada yang bisa menghentikan."

Bukan berarti kemudian yang terjadi menjadi benar.

"Memang."

Pesananku datang. Harum kopi meruap. Sedikit mengendorkan apa yang hendak tegang.

Kenapa aku tak boleh terus ke Timur?

"Bukan aku yang melarang."

Ya, aku tahu. Tapi siapa tahu, kamu tahu...

"Aku tidak tahu. Aku membantumu mencari tahu."

Terimakasih.

Ketiga pemain musik itu mulai memainkan lagu. Aku tak tahu lagu apa, tapi cukup enak didengar.

"Aku selalu berharap kamu baik-baik saja."

Aku tidak terlalu paham maksud kalimatnya kali ini. Tapi aku diam. Tidak terlalu penting untuk diperjelas.

"Jadi bagaimana mulanya?"

Seperti yang dulu, semua selalu bermula dari kedutan di muka yang terjadi terus-menerus selama hampir dua minggu. Mungkin kecapekan.

"Atau saraf sedang bekerja untuk menyamakan frekwensi sehingga semua isyarat bisa dengan mudah diterima. Biasanya begitu."

Lalu mimpi-mimpi. Entah. Batas yang kabur antara yang nyata dan yang tidak.

"Memang apa beda antara yang nyata dan yang tidak?"

Aku diam. Enggan menanggapinya. Aku tahu apa yang akan dia katakan jika aku menanggapi hal itu.

Rasa yang mengantuk terus-menerus tapi tak bisa tidur.

"Sebuah lahan yang sedang dipersiapkan untuk tumbuhnya tanaman baru. Kesadaran baru."

Ah, ngomong apa kamu ini...

"Lalu?"

Semacam ketakutan.

"Kamu takut apa?"

Tidak persis bisa disebut ketakutan. Pertanyaan kanak-kanak muncul lagi. Ada apa setelah kematian? Surga? Neraka? Lalu apa? Setelah itu apa? Apakah selamanya itu? Apakah keabadian itu? Bagaimana dia bekerja? Tanpa ruang dan waktu? Seperti apa itu?

Dia diam. Mencoba mendengarkan. Menyimak. Tapi aku tak yakin begitu. Aku bisa menyaksikannya menarik dan mengembuskan nafas. Tenang. Seperti laut ketika musim teduh.

"Kalau pertanyaan-pertanyaan itu dijawab, tak ada lagi yang menarik seusai kematian."

Tapi kita tak bisa menghalang-halangi pertanyaan-pertanyaan itu.

"Benar."

Aku menyeruput kopi. Menyalakan kretekku. Dia memberi tanda meminta ijin mengambil kretekku. Aku mengangguk. Mempersilakan....

Tiba-tiba dia melihat ke arah luar. Aku mengikuti pandangannya. Menembus di balik kaca bersih. Di ruas Jalan Darmo Raya.

"Hujan..." desisnya.

Ya, di luar hujan. Tak seberapa deras.

"Hujan pertama di Surabaya musim ini."

Aku mengambil nafas dalam-dalam. Ketiga pemain musik itu berganti dari satu lagu ke lagu berikutnya. Enak didengar. Suara perempuan penyanyi itu tidak bisa dikatakan merdu sekali. Tapi pas. Tak lebih dan tak kurang. Sederhana. Tak bermain cengkok yang rumit. Justru karena itu enak didengar.

Tiba-tiba aku melihat sepasang matanya tergenang air. Aku memastikan apakah ada rintik hujan di luar yang diantarkan oleh cahaya menuju kedua matanya. Ada percik yang indah, ketika air hujan jatuh di aspal, lalu kena sinar terang taman hotel. Aku memastikan lagi ke arah matanya yang membuang jauh pandangan ke luar.

Dia menoleh ke arahku. Kembali kami berhadap-hadapan. Aku melihat ada semacam kabut turun di bahu kanannya. Juga di ubun-ubunnya. Wajahnya makin memucat.

Kamu tampaknya sakit...

Dia menggelengkan kepala. "Kecapekan dan mungkin masuk angin."

Kamu harus beristirahat dulu. Aku masih dua hari di Surabaya. Kita bisa bertemu lagi besok atau besok malam.

"Oke, tapi perbolehkan aku mengantarmu ke hotel."

Tak perlu. Aku masih ingin di sini.

Dia diam. Lalu bangkit. Aku bangkit. Kami berpelukan cukup lama. Dia memanggil pelayan, mau membayar.

Tak usah. Aku masih di sini. Nanti kuselesaikan.

Dia pergi. Ketika lewat di sampingku, ada desir dingin. Seperti rasa ketika melewati segumpal kabut padat.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar