Senin, 19 Oktober 2015

Salat

Aku baru saja setengah menggelandang Rus yang tertidur pulas, membawanya keluar dari rumah makan itu, dan kudapati Om Tan sedang berbincang dengan laki-laki berpeci.

"Aku menitipkan mobilku ke dia. Kami sudah kenal lama. Jalur ini, dulu hampir tiga kali dalam seminggu kulalui. Dan aku selalu ngopi di sini menjelang pagi. Pak Pri ini," katanya sambil setengah merangkul pria setengah umur dengan kulit gelap dan badan agak membungkuk itu, "sudah sejak dulu menjaga keamanan bis-bis yang parkir di sini."

Aku mengangguk. Mencoba tersenyum sambil membuka pintu mobil bagian tengah, menyorongkan tubuh Rus. Aku masih belum paham benar maksud Om Tan, hingga kemudian setelah kututup pintu mobil, kusalami Pak Pri.

"Aku ikut kamu. Bolehkan?"

Ikut aku? Boleh saja. Dengan senang hati, Om...

"Coba kamu ingat, apa pesan kedua orangtuamu yang selalu sama dengan pesan istrimu?"

Jangan lupa salat, Om... Jawabku cepat, karena memang begitulah kenyataannya.

"Kenapa kamu tidak mencoba salat?"

Aku salat karena kehendakku sendiri. Bukan karena disuruh oleh orang. Bahkan jika pun mereka orang-orang yang kucintai dan kuhormati.

Om Tan terkekeh. "Siapa tahu kamu menginginkan salat Subuh, jika iya, masih cukup waktu," katanya sambil berjalan ke arah mobil, dan wajahnya mendongak ke arah langit yang mulai memerah.

Entah kenapa, aku segera menuju ke musala kecil di pojok kompleks rumah makan yang besar itu. Mengambil air wudu. Salat Subuh. Bunyi hewan-hewan hutan terdengar begitu keras di dalam musala ini.

Usai salat, pikiranku mulai segar. Wajahku juga segar. Sembari menuju mobil, aku melakukan senam-senam kecil. Lari-lari, peregangan. Sambil mengolah nafas sebisaku.

Begitu masuk ke dalam mobil, Om Tan tampak duduk tenang di sampingku. Rus menjingkrung di kursi tengah. Ngorok lagi.

Mobil kujalankan pelan, kami melambaikan tangan ke arah Pak Pri.

Jalanan masih cukup sepi. Om Tan mengeluarkan bungkus rokoknya, dengan segera aku bilang, aku tidak merokok di dalam mobil. Semacam memberi tanda ke dia, bahwa dia pun tidak boleh melakukannya.

Om Tan terseyum. "Bungkus rokok ini mengganjal, aku cuma mengeluarkannya."

Kami berdua tertawa kecil.

"Apa yang paling kamu ingat jika berkendara di pagi seperti ini?"

Entah kenapa, dia seperti bisa membaca apa yang sedang kupikirkan. Aku selalu suka berkendara saat malam, ketika Subuh keluar dari jalanan yang kanan kiri penuh hutan, lalu masuk ke kota kecil, musik mengalunkan lagu 'Estranged' Guns N Roses, dan kemudian setelah lagu itu usai, aku mencari warung pecel. Berhenti. Makan pecel dengan tempe gorengnya yang masih hangat. Minum kopi. Mencuci muka. Lalu melanjutkan perjalanan. Semacam oase pagi yang menyenangkan. Jawabku antusias.

Mukanya terlihat riang mendengarkan jabaranku. "Ada seorang politikus gaek di negeri ini yang mungkin kamu tidak suka sosoknya, aku juga tidak begitu suka, tapi harus kuakui insting politiknya tajam. Salah satu cara melatih insting politiknya sehari-hari adalah dengan menyetir sendiri mobilnya. Kadang kalau dia sedang stres, bukan main perempuan atau mabuk-mabukan. Dia akan pergi ke Puncak, lalu balik ke Jakarta dengan kecepatan tinggi tanpa menginjak rem."

Agak sakit, jawabku sembari menyalip truk besar di depan kami.

"Setiap orang punya kadar sakit tertentu. Sekaligus punya cara untuk mengobati sakitnya."

Cara yang berbahaya.

"Kamu pikir hidup ini tidak berbahaya?"

Aku malas membalasnya. Kini jalanan mulai agak ramai dengan lalu-lalang orang berkendara yang tampaknya sedang menuju ke pasar.

Tiba-tiba Om Tan memberi tanda agar aku melambatkan mobil. Lalu dia memberi aba-aba agar aku masuk ke sebuah jalan kecil di tengah hutan. Aku mengikuti saja kemauannya.

Dia memintaku menghentikan mobil. Mobil berhenti. Dia membuka kaca jendela. Melihat sekeliling. Lalu tatapan matanya tertuju di sebuah gerumbul. Dia menarik nafas panjang...

"Konon di sini, Bapakku dibunuh oleh tentara."

Aku terhenyak.

"Setiap lewat jalan ini, aku selalu berhenti di sini. Pamanku lolos. Dia berlari. Sepuluh tahun kemudian dia baru menengok keluara kami diam-diam, menceritakan pengalamannya kepada Ibuku yang saat itu masih berpikir bahwa ada kemungkinan Bapak masih hidup."

Aku hampir mematikan mesin mobil, tapi tangan Om Tan memberi isyarat: tak usah.

"Sampai hampir meninggal, Ibuku selalu nyekar Bapakku di gerumbul itu..."

Rus terdengar ngolet. Lalu tidur lagi. Ngorok lagi.

Mendadak kami dikejutkan oleh sebuah mobil yang juga masuk ke area itu. Saking kagetnya, aku merespons dengan memutar mobil dengan cepat. Mencoba melaju meninggalkan tempat itu.

Tapi sayang, mobil yang barusan datang melakukan manuver yang lebih cepat lagi. Mobil itu melintang. Mobil kami tak bisa maju.

Mendadak rasa cemas merambat ke tengkukku. Semacam mengirim sinyal marabahaya.

Keempat pintu mobil SUV hitam itu berbarengan terbuka. Beberapa orang turun dengan cepat. Aku makin kaget. Itu orang-orang dari salah satu kelompok yang hampir baku tembak di rumah makan.

Mereka berjalan pelan mendatangi kami. Wajah Om Tan mendadak pucat. Mungkin aku juga.

Kami menunggu dengan waswas. Pagi yang sepi di sebuah hutan yang sunyi.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar