Sabtu, 03 Oktober 2015

Tersesat

Kita ke Prigen, Rus. Mungkin ada baiknya aku melihat kabut turun di senja hari. Sambil membaca beberapa lembar buku, dan mencecap kopi Kapiten, kopi dari tanah Pasuruan.

"Lewat mana, Mas?"

Terserah, Rus...

Dia menyalakan GPS.

Matikan, Rus...

"Kenapa, Mas?"

Kenapa harus menyalakan GPS?

"Supaya tidak tersesat, Mas..."

"Memang kenapa kalau tersesat?"

Dia diam. Berpikir. Bingung.

Kenapa takut tersesat, Rus? Tersesat itu bukan kekeliruan yang harus ditakuti. Jalan saja. Tersesat saja. Tak mengapa. Sebagian sejarah ini dibangun oleh para petualang yang tersesat. Dengan tersesat kita lebih awas. Kita berinteraksi dengan orang. Bertanya. Bicara. Bertatap muka. Orang yang tidak tahu pasti sebuah arah, dia akan lebih waspada. Semua sulur-sulur daya hidupnya akan menyala terang. Peka. Semua itu harus dilatih.

Mobil berjalan. Musik mengalun pelan. Gawaiku menyalak. Sebuah pesan pendek dari Don: Dia akan menurunkan semua persoalan tambang di hari Senin, sebagai penutup liputan panjang tentang Salim Kancil. Dia juga akan menpertemukanku dengan Gunawan, reporter yang sudah seminggu ini ada di Lumajang.

"Jangan ke sana dulu sebelum ketemu Gunawan. Daerahnya tidak 'steril'.

Terimakasih.

Mobil tiba-tiba berhenti mendadak. Sebuah sepeda motor dikendarai oleh seorang laki-laki, seorang anak kecil yang diapit di tengah, dan seorang perempuan, tiba-tiba memotong jalan. Semua tidak pakai helm. Aku misuh.

"Sabar, Mas..."

Iya, Rus. Maaf... Aku hanya tak habis pikir kenapa orang tua itu tak berpikir soal keselamatan dasar mereka. Apalagi membawa anak kecil.

"Mas percaya gak kalau seorang anak itu punya kelakuan turunan dari orang tuanya?"

Wah enggak tahu, Rus. Mungkin saja. Persoalannya tiap orang punya sisi baik dan buruk. Setiap orang tua pasti berharap semua sifat baik mereka menurun ke anak-anak mereka, dan semua sifat jelek tidak menurun. Setidaknya aku begitu. Tapi ya tak tahu. Kadang yang seperti itu tak mudah dipelajari.

Rus diam. Kulirik perutnya bergoyang setiap kali mobil berguncang.

Kalau kamu nanti punya istri dan dia sedang hamil, bahagiakan dia, Rus. Aku percaya bahwa kebahagiaan setiap ibu yang sedang mengandung akan mempengaruhi pada sifat awal seorang anak. Itu pendapatku ya, Rus. Kalau kamu percaya, ambil. Kalau tidak percaya ya gak apa.

Rus diam. Seperti berpikir keras.

Kenapa, Rus?

"Aku sedang berpikir, kira-kira apa yang dialami ibuku saat mengandung sehingga bisa punya anak yang kelakuannnya kayak aku begini."

Aku tergelak. Kampret kowe, Rus...

"Serius, Mas... Ibuku pernah menikah tiga kali. Dia juga pernah lompat dari jembatan kereta api. Untung di bawahnya lumpur. Gak jadi mati dia. Mungkin karena itu aku pernah minum baygon celup ya, Mas?"

Wah, gak tahu, Rus... Tapi jangan apa-apa dikit menyalahkan orang tua.

"Aku tidak menyalahkan orang tua, Mas. Hanya berpikir saja."

Mobil hampir menabrak orang lagi. Mirip dengan yang pertama, tiga orang pengendara, satu laki-laki, satu perempuan, dan seorang anak yang diapit di tengah. Semua tanpa helm. Memotong tiba-tiba. Tapi kali ini aku tidak misuh.

Kita makan, Rus...

"Makan apa, Mas?"

Siang ini kayaknya enak kalau kita makan pecel, Rus. Di daerah Pandaan pasti enak.

"O ya, Mas. Dekat apotek Payung Mas."

Tahu juga kamu soal apotek Payung Mas?

"Baca tulisannya Cak Mathari, Mas."

Kamu suka tulisan-tulisannya Cak Mathari?

"Suka, Mas. Dia pernah menulis soal grup band Elpamas yang dilahirkan dari apotek Payung Mas."

Ya. Aku juga tahu soal itu dari tulisannya Cak Amrullah.

"Cak Amrullah?"

Ya.

"Siapa dia?"

Ya Cak Mathari itu.

"Lho Cak Mathari atau Amrullah?"

Nama asli Cak Mathari itu Amrullah. Dia pakai nama bapaknya. Nama dirinya: Amrullah. Bapaknya bernama: Mathari.

"O, sayang sekali dia sama bapaknya ya, Mas?"

Gak tahu, Rus.

"Kalau tidak sayang pastilah tidak akan dia pakai nama bapaknya, Mas..."

Wah gak tahu, Rus. Kamu tanyakan saja sendiri ke dia.

"Aku gak kenal dia, Mas..."

Nanti kapan-kapan tak kenalin.

"Mas kenal dia?"

Kenal cukup baik. Kenapa?

"Wah, dia penulis hebat, Mas..."

Ya. Dia penulis hebat, dan wartawan yang hebat. Kamu juga bisa jadi sopir yang hebat. Kayak film 'Transporter'.

"Wah itu film kesukaanku, Mas. Ternyata Mas juga suka film itu ya?"

Siapa yang bilang aku suka film itu, Rus?

"Lha tadi, Mas bilang..."

Aku hanya bilang kalau kamu bisa jadi sopir hebat, seperti film 'Transporter'. Aku tidak bilang suka film itu.

Rus diam. Tidak lama kemudian dia menghentikan mobil di sebuah warung makan yang ada tulisan menyediakan menu rawon dan pecel.

Kenapa berhenti di sini, Rus?

"Kan kata Mas mau makan pecel. Ini warung makan pecel."

Kenapa di antara sekian banyak warung pecel, kamu memilih berhenti di sini?

"Kalau menurut kami para sopir, jika di sebuah kota kita tak tahu di mana makanan yang enak, berhenti saja di tempat yang ramai. Di situ pasti enak."

Itu teori lama, Rus...

"Kalau teori baru, bagaimana, Mas?"

Kalau teori baru, untuk tahu apakah warung makan itu menjual makanan enak atau tidak: harus dicoba. Usai mengucapkan itu, aku langsung membuk pintu mobil, masuk ke warung makan.

Aku sudah lapar sekali.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar