Jumat, 20 November 2015

Terorisme

Dalam literatur akademis, terorisme didefinisikan sebagai kekerasan dg motif politik. Tanpa motif politik, kekerasan sesadis seperti apapun tak bisa disebut terorisme.

Perlawanan bersenjata pejuang Indonesia melawan penjajah Belanda dulu, per definisi, adalah terorisme. Motif politik: memerdekakan diri atau menegakkan keadilan. Begitu pula gerakan separatis Aceh atau Papua. Atau ketika Palestina melawan Israel dan Irlandia Utara melawan Inggris.

Terorisme umumnya dilakukan kelompok lemah thd yang kuat. Tapi, tak selalu begitu. Kekerasan dg motif politik bisa dan sering dilakukan oleh kelompok yg kuat. Bahkan oleh negara (state-sponsored terrorism). Perang Irak dan Afghanistan yg dipaksakan Amerika/Eropa, yg membunuh warga sipil lebih banyak dr di London atau Paris, adalah bentuk terorisme juga.

Negara juga sering menciptakan teror utk menakut-nakuti warga negara. Warga yg ketakutan dan emosional akan mudah dikendalikan dan diarahkan.

Salah satu contoh klasik ada dalam sejarah Orde Baru: menciptakan PKI sebagai monster yg demikian jahat sehingga warga membenarkan, bahkan mendukung langsung, pembantaian sadis terhadap orang PKI atau yg dituduh PKI.

Dalam sejarah politik dunia, acap kali terorisme kecil justru sengaja diciptakan oleh kekuatan besar sebagai dalih utk melakukan terorisme lebih dahsyat. Terorisme yg terakhir ini jarang disebut terorisme krn dukungan publik yg luas dan emosional.

Ada pula terorisme yg sengaja diciptakan utk memberi dalih bagi kebijakan politik yg tidak populer: membatasi imigran dan pengungsi asing, misalnya. Atau dalih memperkuat aparat keamanan negara dlm memata-matai rakyatnya: kamera CCTV di mana-mana, metal detektor di setiap gedung; kenaikan anggaran militer dan polisi.

Ketika membedah fenomena terorisme, sangat penting utk melihat MOTIF POLITIK, siapa yg paling diuntungkan secara politik dari sebuah peristiwa terorisme. Itu juga berlaku utk teror Paris mutakhir.

(Farid Gaban)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar