Sabtu, 24 Januari 2015

KPK vs POLRI

Mendukung penguatan/pemulihan KPK menjadi lembaga hukum anti-korupsi yg berwibawa dan bermartabat. Menuntut Polri dibubarkan, dipreteli atribut militernya, ditempatkan secara semestinya sebagai perangkat pemerintahan sipil. Adili aparat polisi yg sewenang-wenang menangkapi, memeras, menyiksa, dan membunuhi warga tanpa proses hukum. (Farid Gaban)

Polisi

Jika seorang komisioner KPK bisa diperlakukan seperti itu, kebayang 'kan apa yang bisa polisi lakukan terhadap warga kebanyakan? Di kalangan bawah, itu sudah menjadi realitas sehari-hari, dalam kadar yg lebih brutal. (Farid Gaban)

Jumat, 23 Januari 2015

Kode Etik

Ketika kode etik (internal) aparat penegak hukum (c.q. KPK) tak mampu bahkan tak mau ditegakkan oleh pimpinannya sendiri, pada titik itulah gerbang terbuka lebar bagi politik yang niscaya partisan untuk mengkorup prinsip non-partisanship dan disinterestedness aparat penegak hukum.

Lagi, Soal Centeng

Saya kemarin dianggap tendensius ketika menyebut bahwa Kapolri dan Jaksa Agung merupakan "centeng hukum" istana. Apa yang kita tonton hari ini, dari peristiwa penangakapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri, sebenarnya bisa memberikan konfirmasi.

Kamis, 22 Januari 2015

Peremajaan Aktor

Ketika awal dibentuk, Tim Reformasi Tata Kelola Migas lantang berteriak tentang keberadaan mafia migas di tubuh Petral. Tapi pelan-pelan pernyataannya kemudian bergeser, bahwa Petral adalah trading company yang dibutuhkan oleh Pertamina. Dan kenyataannya memang demikian. Anehnya, meski posisi Petral sebagai kepanjangan tangan Pertamina kemudian tak lagi diganggu gugat, posisi Petral sebagai badan pelaksana pengadaan BBM di dalam negeri kemudian dipindahkan ke ISC (Integrated Supply Chain), sebuah badan yang dibentuk oleh Ari Soemarmo sewaktu ia masih menjabat Dirut Pertamina.

Senin, 19 Januari 2015

Media Borjuis

Membaca halaman depan Koran "Jawa Pos"/"Indo Pos" hari ini, 19 Januari 2015, tergambar dengan vulgar potret media borjuis dalam masyarakat berkelas hari ini. Di "space" paling atas, ada tulisan Dahlan Iskan yang menceritakan liburannya ke luar negeri dan kebebasannya memilih negeri tujuannya berlibur. Di bawahnya ada pemberitaan tentang puluhan orang yang menunggu hukuman mati karena permohonan grasinya ditolak. Kontras dua kelas yang berbeda. Sementara sejumlah besar orang mendekam dalam tahanan, kehilangan kebebasannya, dan merasakan sisa-sisa kebebasan itu perlahan terenggut sebelum menemukan penghabisannya di ujung pelatuk para penembak, sejumlah kecil orang (para elite) menikmati kebebasannya untuk tujuan-tujuan yang sekunder atau tersier, dan mungkin tak merasa perlu berpikir apakah kebebasannya akan membuat iri keluarga para narapidana yang dirundung cemas akan ketidakpastian nasib keluarganya. Mungkin yang terpenting bukan siapa lagi yang akan menulis di "space" teratas -- Dahlan Iskan atau anaknya (toh semua orang tahu bahwa "Jawa Pos" adalah koran "dinasti") -- tapi substansi tulisannya. Sebuah tulisan yang dengan ringan memamerkan kebebasan elitis seseorang di tengah kondisi ketidakbebasan yang membelenggu sejumlah besar orang yang lain.

Minggu, 18 Januari 2015

Masih tentang Kapolri

Sejak Reformasi, jabatan Jaksa Agung dan Kapolri adalah "centeng hukum" bagi istana. Apalagi setelah terbentuknya KPK, sebuah lembaga superbody yang relatif tak mudah dikontrol baik oleh istana maupun parlemen, fungsi centeng istana itu semakin efektif dan terkonsolidasi. Itu sebabnya kisruh soal jabatan Kapolri yang menyita perhatian kita pada dua pekan terakhir perlu juga dilihat dari sudut pandang tersebut.

Sabtu, 17 Januari 2015

Politik Bola Panas

Presiden menendang bola ke parlemen. Agak meleset. KPK berhasil memotong. Tapi, tak sempurna, dan bola bergulir ke kaki parlemen juga akhirnya. Gocek sebentar, parlemen memberi umpan lambung ke presiden. Dan presiden, yang berdiri di kotak penalti dekat tiang jauh, melakukan tendangan salto.... Goal?! Oh, sh*t! Bola membentur tiang gawang! Dan kembali ke kaki KPK..... [Satu hal yg membuat sedih adalah bagaimana KPK menyediakan diri terlibat dalam permainan yg sama: permainan bola panas politik.] (Farid Gaban)

Jumat, 16 Januari 2015

Praduga Tak Bersalah

Istilah "tersangka" punya makna dan konsekuensi serius di dunia hukum. Tapi, bisa dipahami jika orang menjadi sinis dg istilah itu. Asas "praduga tak bersalah" cenderung hanya diterapkan bagi orang berduit dan berkuasa. Kalau penjahat kecil-kecilan, justru disiksa utk mengaku bersalah. Atau ditembak mati bahkan sebelum jadi tersangka. Polisi seenaknya menembak mati "terduga" teroris. (Farid Gaban)

Kebenaran

Ada kebenaran jurnalistik, kebenaran yg dicapai melalui prosedur jurnalistik. Kebenaran hukum, melalui prosedur hukum. Kebenaran politik, melalui prosedur prolitik/tata negara. Semua bisa bermuara menuju kebenaran yg sama; tapi sering juga berbeda. Itu tak masalah. Yg masalah kalau aparat hukum berselingkuh dg politik, atau mempolitisasi hukum. Atau media berselingkuh dg politik serta aparat hukum (tak peduli itu polisi, jaksa atau KPK). Perselingkuhan jurnalis-KPK bisa sama buruknya dg perselingkuhan jurnalis-polisi dlm operasi kriminal dan terorisme. (Farid Gaban)