Jumat, 06 November 2015

Pereira

Sejak lama saya sering bertanya-tanya siapa sebenarnya Derwin Pereira: wartawan, agen atau lobbyist politik? Sebagai wartawan The Strait Times (Singapura) dia pernah mangkal di Jakarta dan Washington. Di tengah gencarnya kampanye "war on terror" George Bush beberapa tahun lalu, Pereira adalah wartawan pertama yg menulis kaitan Pesantren Ngruki dg Al Qaeda, sekaligus memberi Indonesia citra meyakinkan sbg "sarang teroris" dan memuluskan jalan "war on terror" di sini. Kini dia CEO Pereira International, perusahaan konsultan politik, antara lain memanfaatkan koneksinya yg "kuat dan mendalam" dg elit2 politik Jakarta selama jadi wartawan. Dia juga menyombongkan diri punya akses eksklusif informasi vital (tentang Indonesia) dr para elit tadi.

Ah, Kau...

Kau bilang mencintai hujan, tapi kau memakai payung ketika ia jatuh. Kau bilang mencintai angin, tapi kau menutup jendela ketika ia bertandang. Kau bilang mencintai bulan, tapi kau tidur ketika ia muncul. Kau bilang mencintai mentari, tapi kau berteduh ketika ia menyengat.

Kalang Kabut

Artikel di bawah ini mengungkap kejanggalan: sebuah perusahaan Singapura, Pereira International, menyewa konsultan public relations (lobbyist) di Las Vegas utk mengatur kunjungan Presiden Jokowi di Amerika tempo hari. Kok bisa? Perusahaan itu milik Derwin Pereira, mantan wartawan The Strait Times yg pernah ngepos di Jakarta dan dikenal dekat dg Menkopolkam Luhut Panjaitan. Jika kunjungan Jokowi di AS kemarin dinilai gagal atau "flop", sebagian akibat adanya persaingan/saling jegal antara Luhut dengan Kementrian Luar Negeri. Artikel di bawah ini juga menyoroti kalang-kabutnya diplomasi internasional kita.

'65 adalah Konflik Perebutan Sumber Daya

Kalau kita baca 3 karya ini: 1) disertasi Redfern (2010). "Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s"; 2) thesis Kanumoyoso, (2001) "Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia."; dan 3) karya klasik Robinson, "Indonesia: The rise of capital," maka akan sangat jelas bahwa 65 adalah konflik perebutan sumberdaya.

Listening Post

Salah satu tayangan televisi yang sering saya tonton adalah Listening Post. Ini acara mingguan yang disiarkan Al Jazeera dan isinya tentang bagaimana media memberitakan isu-isu yang sedang hangat. Semacam media watch, yang dimiliki oleh media. Yang menarik, ia tidak hanya menghadirkan para peneliti/pengamat media, tetapi juga meminta pendapat dari banyak jurnalis di setiap episode atas isu tertentu. Dengan begitu ia membantu para penonton untuk memahami berita-berita yang ditampilkan media, bagaimana melihat biasnya, dengan cara apa mesti meresponnya, dan sebagainya. Sepertinya tayangan semacam ini belum ada di Indonesia.

Enak

Untuk bisa menilai apakah semangkuk sop buntut itu enak atau tidak, bukankah Anda tak perlu harus menghabiskannya lebih dulu?!

Syiah

Mengatakan Syiah bukan Islam, sama saja seperti mengatakan Banyumas bukan Jawa.

Koran

Kata Kompas, "Perekonomian Mulai Membaik". Koran Jakarta bilang, "Pengangguran Naik Sinyal Ekonomi sedang Bermasalah". Koran SINDO menulis, "Ekonomi Lesu, Pengangguran Melonjak". Sementara Bisnis Indonesia memacak, "Perlambatan Belanja: Pertumbuhan Belum Optimal". Dari empat surat kabar itu, headline Kompas selalu paling optimis.

Allah

Di sebuah grup WhatsApp, seorang kawan telah menegur kawan lainnya karena menulis “4JJI” untuk menyebut “Allah.” Alasan yang menegur, “4JJI” berbeda artinya dengan “Allah.” Dia meminta yang bertanya perbedaannya, agar bertanya pada kawan yang lain lagi yang dianggapnya lebih mengerti dan berkompeten untuk urusan semacam itu. Diskusi agak memanas, dan saya lalu teringat pertanyaan istri saya untuk perkara yang sama.

Kritik

Periode lalu, di Yogya ramai bertebaran mural dan poster bergambar Boediono dengan tulisan "Antara Ada dan Tiada". Periode terakhir pemerintahan Yudhoyono juga ditandai oleh meluasnya istilah "Negeri Autopilot".