Jumat, 06 November 2015

Listening Post

Salah satu tayangan televisi yang sering saya tonton adalah Listening Post. Ini acara mingguan yang disiarkan Al Jazeera dan isinya tentang bagaimana media memberitakan isu-isu yang sedang hangat. Semacam media watch, yang dimiliki oleh media. Yang menarik, ia tidak hanya menghadirkan para peneliti/pengamat media, tetapi juga meminta pendapat dari banyak jurnalis di setiap episode atas isu tertentu. Dengan begitu ia membantu para penonton untuk memahami berita-berita yang ditampilkan media, bagaimana melihat biasnya, dengan cara apa mesti meresponnya, dan sebagainya. Sepertinya tayangan semacam ini belum ada di Indonesia.

Minggu lalu, Listening Post mengangkat isu pemberitaan Israel-Palestina yang terus memanas dan memunculkan wacana apa yang disebut Intifadha 3. Seperti disebut Listening Post, sebagian besar media (baik di Timur Tengah maupun di belahan negara lain) kerap menghilangkan konteks historis ketika memberitakan sebuah peristiwa tertentu yang terjadi di Palestina. Penghilangan ini akan menentukan pada posisi apa media berada dalam penjajahan Israel di Palestina: apakah pro-Palestina, atau pro-Israel.

Sebagai contoh, peristiwa kekerasan seperti pembunuhan yang dilakukan rakyat Palestina diisolasi dalam peristiwa tersebut saja. Padahal, seperti disebut editor Fair (media watch di Amerika), ada beda yang jauh antara membunuh/melakukan kekerasan karena dijajah, dengan membunuh/melakukan kekerasan karena kasus kriminal biasa. Penghilangan konteks yang lebih luas kerap hanya memberikan simpati kepada para agressor.

Pemberitaan semacam ini mirip dengan apa yang terjadi dengan pemberitaan berbagai kerusuhan yang pernah terjadi di Afrika Selatan. Banyak kasus kekerasan kulit hitam terhadap kulit putih hanya diberitakan sebagai peristiwa kriminal, tidak diletakkan dalam kerangka perlawanan terhadap politik apartheid.

Pengabaian konteks besar tentu saja bukan karena media gagal memahami skala konflik, tapi memang karena posisi politik media. Saya kira Listening Post ini cocok buat ditonton biar tidak gampang ribut karena media tidak memberitakan sesuai yang anda inginkan.

*bukan khotbah selepas jumatan*

(Wisnu Prasetya Utomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar