Kamis, 15 Oktober 2015

Bunuh Diri Kelas (2)

Setelah para bekas eksekutif yang mengembangkan benih jagung lokal di Gorontalo, kami menemukan lagi satu kasus "bunuh diri kelas" di Balikpapan.

Tahun 1997, Agus Bei adalah warga baru di perumahan guru Graha Indah, Kecamatan Balikpapan Utara, Kota Balikpapan. Ia seorang kontraktor konstruksi dan listrik untuk perusahaan-perusahaan papan atas di Kalimantan Timur, seperti Pupuk Kaltim.


"Setiap malam sebelum tidur, yang saya pikirkan adalah berapa tagihan yang bisa cair besok. Invoice dan lain-lain," katanya memulai cerita.

Rumahnya menghadap areal tambak di Teluk Balikpapan yang tanaman mangrove-nya telah gundul dibabat oleh pemegang hak guna lahan.

Yang membayar mahal adalah warga seperti Agus. Bila musim angin, perumahannya banjir, digenangi lumpur, bahkan diempas angin ribut.

Tahun 2001, ia yang lulusan STM Mesin dan tidak tahu apa pun tentang bakau atau mangrove, mulai menanam di depan rumahnya setelah belajar manfaat mangrove dari internet.

Tetangganya, mencibir.

"Nanam kok bakau, Pak Agus. Nanam itu palawija, buah-buahan, jelas hasilnya," Agus menirukan komentar para tetangganya 14 tahun lalu.

Mangrove yang ditanam Agus, tumbuh. Ia makin giat menanam. Para tetangganya masih bergeming.

Tujuh tahun kemudian, 2008, kawasan perumahan guru itu pun mulai rimbun dengan hutan mangrove. Banjir hilang, lumpur tak naik ke komplek perumahan, dan angin ribut dari laut tak sanggup menembus barisan bakau.

Para tetangganya mulai merasakan manfaat dan turun tangan. Makin banyak yang terlibat, makin pesat pertumbuhan hutan mangrove Graha Indah.


"Saat itu saya putuskan berhenti jadi kontraktor. Ini harus lebih serius dijalani. Soal rezeki, saya serahkan pada Tuhan. Kalau kita berbuat sesuatu yang bermanfaat, akan ada saja jalan."

Agus lalu hidup dari jasa lingkungan, membantu beberapa pihak merestorasi lingkungan, seperti menyediakan bibit atau membantu pelatihan. Ia jadi pakar mangrove secara otodidak.

Berbagai pihak mulai memberikan bantuan. Instansi pemerintah maupun perusahaan swasta untuk kepentingan CSR (Corporate Social Responsibility).

"Yang sekedar ceremony, foto-foto tanam mangrove juga banyak. Hanya bisa menanam. Yang jadi paling 10 persen," katanya tersenyum.

Hutan mangrove Agus Bei mulai tersohor. Wisatawan pun berdatangan. Kini, rata-rata 100-200 orang datang setiap bulan. Warga mendapat berkah dari sewa perahu 50 ribu rupiah per orang.

Ada juga penginapan dan catering yang dikelola warga. Semua adalah efek bola salju ekonomi.

Dari seorang warga baru perumahan guru yang dicibir karena menanam tanaman yang dianggap tidak produktif, Agus didapuk sebagai Ketua RT selama lima periode.

Hutan mangrove Graha Indah kini luasnya 150 hektare. Tempat hidup berbagai spesies, termasuk Bekantan yang ditaksir jumlahnya mencapai 1.500 ekor di Teluk Balikpapan.

Itu belum termasuk berbagai jenis ikan yang bertelur dan berkembang biak di bawah mangrove dan membantu ekonomi para nelayan tangkap.

Agus dan warga kini mulai mengembangkan keramba untuk budidaya ikan. Inilah "ekonomi biru" ala Agus Bei, perantauan Kalimantan asal Banyuwangi.

Ekspedisi Indonesia Biru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar