Kamis, 15 Oktober 2015

Kepada Kaum Jenderal

Sejak Desember 2006, melalui Keppres 28, Indonesia sudah punya Hari Bela Negara yang diperingati setiap 19 Desember.

Apakah itu hari di mana para jenderal dan serdadu berperang?

Bukan. Itu adalah hari pada tahun 1948 ketika seorang sipil bernama Sjafruddin Prawiranegara yang belum menerima surat kawat dari Wakil Presiden Bung Hatta --tentang bagaimana status Republik setelah ibukota Yogyakarta jatuh dan para pemimpin ditangkap-- tetapi dengan tangkas langsung membentuk Pemerintahan Darurat, lengkap dengan kabinetnya.

Dengan tindakannya itu, yang disebut Republik Indonesia masih ada, meski tentaranya kocar-kacir dan lapangan terbang Maguwo di Yogya dengan mudah jatuh ke tangan Belanda.

Apakah hari itu supremasi militer yang menentukan jalannya sejarah?

Bukan, Jenderal. Hari itu Sudirman masuk hutan dan Nasution lari ke Jawa Timur.

Itu adalah hari ketika Panglima Besar Sudirman --sosok yang kalian puja-- meski kecewa dengan Soekarno, tapi tetap tunduk pada komando pemerintahan sipil PDRI di belantara Sumatra Barat.

Apakah Hari Bela Negara adalah ihwal dar-der-dor ala Rambo?

Salah lagi, Jenderal.

Itu adalah hari di mana supremasi teknologi radio telah menghubungkan Bidar Alam, Yogya, Takengon, Rangon, New Delhi, dan markas PBB di New York, sehingga Belanda mengalami tekanan internasional yang luar biasa mempermalukan mereka.

Demikian, Jenderal.

Oh, iya. Foto di bawah ini adalah salah satu bagian dari monumen di Bidar Alam.


Pernah ke sini, Jenderal?

Banyak hal tidak terurus di sini. Nasibnya seperti fakta sejarahnya yang terkubur. Jauh berbeda dengan monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya yang isinya isapan jempol, tapi kalian puja dan rawat demi politik supremasi kaum jenderal.

(Dandhy Dwi Laksono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar