Senin, 26 Oktober 2015

Cinta & Politik

Tak perlu pemimpin yang benar-benar kharismatik, berwibawa, atau memiliki konsep, semacam Tan Malaka atau Soekarno, misalnya, untuk membuat orang-orang jatuh cinta atau menciptakan pengikut-pengikut yang fanatik. Pada kenyataannya, semua model pemimpin, dari yang paling mustahil hingga mustahal, memiliki pencinta dan pengikutnya masing-masing, dengan fanatismenya masing-masing, dalam dosis yang kadang tak pernah terbayangkan.

Itu sebabnya, bahkan seseorang seperti Farhat Abbas, misalnya, yang pernah mencalonkan diri sebagai capres itu, tetap saja memiliki pengikut, atau minimal pembela, yang berdiri di belakangnya.

Poinnya, sebagaimana halnya "cinta", yang memiliki baik sisi "realis" maupun "magis" sekaligus, maka begitu pula halnya dengan preferensi politik, dan apalagi keyakinan ideologi. Ia selalu mengandung sisi terjelaskan dan sisi-sisi tak terjelaskan sekaligus.

Jadi, kalau ada yang masih bertanya, bagaimana bisa ada orang yang membela dan memuji-muji sebegitunya seorang pemimpin, padahal di mata orang lain seseorang itu tak memiliki keistimewaan apapun, bahkan cenderung 'mediocre', maka demikianlah sihir cinta bekerja.

Seperti syair lagunya Gombloh, kalau cinta sudah melekat, tahi kucingpun rasanya coklat. Begitulah. Itu berlaku untuk semua kalangan, dan semua latar belakang.

Kalau ada orang yang mengaku kalau cintanya sepenuhnya rasional dan terkontrol, percayalah, Anda sedang menjumpai seorang hipokrit.

Orang bisa dan boleh salah dalam mencintai. Tapi serendah-rendahnya tempat adalah milik kaum hipokrit, yang selalu merasa benar dan memiliki banyak pembenaran untuk seluruh situasi.

(Tarli Nugroho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar