Senin, 26 Oktober 2015

Murtad

Om Tan sibuk memainkan telepon genggamnya. Dari tangan kanan dipindah ke tangan kiri. Telepon genggam lama. Nokia. Mungkin hanya dia satu-satunya orang yang kukenal, yang masih memakai telepon genggam seri itu.

Dia tampak tampan. Agak rapi sedikit. Bercelana katun, kaos putih, dan berjaket kain tipis. Memakai sepatu sandal. Rambutnya yang sepundak juga tampak kelimis. Seperti habis keramas dan disisir. Kacamata model John Lennon yang terlempar saat dia digampar hampir dua minggu lalu, masih dipakai. Tidak berubah.

Aku diam. Tampaknya dia ingin mengatakan sesuatu yang penting. Atau lebih tepatnya, aku ingin dia mengatakan sesuatu yang penting.

"Aku diundang beberapa temanku untuk diskusi di sini..."

Aku menunggu. Bersiap mendengarkan tentang banyak hal yang, siapa tahu, akan memberiku informasi tentang sekian hal yang membingungkan.

"Nanti kamu boleh mendengarnya. Boleh bergabung. Rasanya tak ada salahnya jika kamu ikut. Kalau kamu ada waktu."

Aku melirik ke arah jam tangan di pergelangan tangan kiriku.

"Nanti, dua jam lagi." ucapnya seakan bisa menebak pikiranku.

Aku mengangguk. Menunggu kelanjutan ceritanya.

"Mungkin kamu tidak setuju dengan apa yang akan kubicarakan. Tapi aku butuh teman bicara. Teman beradu pikiran....

"Ketika tragedi 65 terjadi, sebagian orang yang lolos, baik yang kemudian lolos karena usai ditahan dan dibuang, maupun yang benar-benar lolos dari tak diambil, kemudian menggeluti dunia spiritual. Atau mistis. Atau apalah itu...

"Banyak dari mereka yang pindah agama dari Islam ke agama lain. Bukan karena semata keyakinan. Tapi karena kecewa. Tokoh-tokoh Islam tidak membela mereka. Malah sebagian ikut menghantam mereka. Tapi selain itu juga karena di agama lain, mereka lebih mudah mendapatkan bantuan. Terutama tentu dari gereja."

Seorang laki-laki bule berjalan tergesa lewat di samping kami. Om Tan diam sejenak.

"Tapi juga ada yang karena memang karena mereka tidak lagi kuat menerima realitas, dan kemudian melarikan diri."

Ketika menyebut istilah 'melarikan diri', dua jari dari dua tangannya diangkat dan ditekuk. Menyatakan kalau istilah itu merupakan dalam tanda petik.

"Dan bisa juga karena dulu sebelum tragedi itu, mereka memang menggeluti ilmu atau keyakinan itu. Mistisisme atau sejenisnya, cukup banyak dianut oleh orang. Termasuk orang-orang komunis. Maka mungkin kamu sering mendengar ada orang-orang komunis yang disiksa, dibunuh, tapi tidak mati-mati."

Aku kemudian teringat sebuah fragmen kisah yang beredar di masa kecilku. Di sebuah sekolah dasar, ada bekas sumur tua yang selalu kami, anak-anak kecil hindari lewat tempat itu, karena konon ada pentolan komunis yang dibacok berkali-kali tidak mati, digantung tidak mati, tidak diberi makan berminggu-minggu tidak mati juga. Akhirnya dia dimasukkan ke dalam sumur, dan ditimbun. Apakah dia mati? Tidak ada yang tahu. Kisah simpang-siur. Ada yang bilang mati, ada yang bilang malah bisa meloloskan diri kemudian masuk hutan dan ketika ada kejadian pencurian menjadi salah satu tersangka hingga pukuhan tahun kemudian, tapi ada juga yang bilang, di saat siang dia di dalam sumur, di saat malam, dia kekuar dari sumur. Kisah-kisah itu menakutkan anak-anak kecil seperti aku dan kawan-kawanku.

"Tapi intinya, semenjak itu, kira-kira 10 tahun usai tragedi 65, komunitas-komunitas Kejawen dan sebangsanya, tumbuh diam-diam. Makin banyak. Mereka seakan menggabungkan mistisisme dengan sosialisme."

Aku hampir bertanya. Lebih tepatnya membantah. Tapi aku mengurungkan diri. Lebih memilih menunggu.

"Sementara kamu juga mungkin tahu bahwa tradisi mistis dalam Islam di Indonesia juga kuat. Di level formal, memang banyak tokoh Islam saat itu yang ikut mendukung pembantaian orang-orang kiri. Tapi dalam perkembangannya, di sudut-sudut tertentu, mereka ada dalam satu arsiran.

"Maka jangan heran jika banyak dukun, atau kaum spiritualis, yang punya pemikiran kiri."

Aku lagi-lagi hampir menimpali. Tapi akhirnya lebih memilih menyeruput kopiku yang sudah agak dingin.

"Maka perhatikan sekarang ini bagaimana tekanan terjadi: di sisi agama terjdi pembersihan kaum yang dituduh bid'ah, satu paket dengan kampanye antikomunisme."

Aku sebetulnya tidak terlalu suka pada kesimpulan macam 'othak-athik gathuk' macam ini. Tapi rasanya aku tidak berhak menantang pemikirannya saat ini.

Om Tan menyeruput minumannya. Mencopot kacamatanya. Mengucek-ucek sepasang matanya. Lalu memakai lagi kacamatanya.

"Satu paket." ujarnya menegaskan. Lalu dia memberiku isyarat agar aku membalikkan badan.

Aku menoleh. Izon memberikan tanda. Aku melihat ke arah jam tanganku. Masih kurang 30 menit. Tapi Izon tahu kalau aku selalu datang di pertemuan apapun lebih awal.

"Acaramu akan dimulai?"

Aku mengangguk.

"Oke. Nanti sehabis acaramu, kamu gabung ke acaraku ya..." dia meminta.

Aku mengangguk. Lalu memberi kode kepada Izon agar membayar makanan kami plus minuman yang dipesan di meja Om Tan.

Kemudian aku berdiri dan menyalami Om Tan. Pergi dulu, Om...

Kini dia yang mengangguk. "Sukses ya!"

Aku tersenyum. Tapi sebelum aku melangkah, tiba-tiba dia bersuara, "Kamu punya kiat gak?"

Aku membalikkan badan. Kiat apa, Om?

"Di kompleks perumahanku, sekarang susah sekali mengumpulkan warga perumahan untuk ngumpul. Padahal ada banyak hal yang perlu dibahas warga perumahan..."

Gampang, Om. Bikin surat atau sms ke semua warga perumahan, bilang saja: Di kompleks-kompleks perumahan lain sudah banyak terjadi kemalingan dan perampokan. Mereka akan datang.

Om Tan terkekeh sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali.

Aku meninggalkannya seorang diri, untuk kemudian menjumpainya lagi setelah usai rapat.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar