Rabu, 28 Oktober 2015

Kampungan

Kali pertama tahu Kelompok Kampungan dari Yogyakarta, saya baru kelas 5 atau kelas 6 SD. Saya mendapati kasetnya di kamar pak lik, kaset dengan sampul bergambar sekelompok anak muda gondrong bersarung [sebagian berpeci] dengan latar belakang beberapa peralatan gamelan, dan alat musik lainnya. Itu sekitar tahun 1978 atau 1979, dan saya segera saya menyukai lagu-lagu Kelompok Kampungan seperti halnya saya menyukai lagu-lagu dari Pancaran Sinar Petromax, Lemon Trees [Gombloh], Ebit G. Ade dan Nur Afni Oktavia.


Lagu-lagu mereka yang menyuarakan kebanggaan menjadi orang Indonesia, menurut saya sesuai dengan zamannya, meskipun berbeda dengan Lemon Trees Anno ‘69 yang ketika saya SMA, saya membeli kasetnya dan menghafal beberapa lagunya, saya hanya mengingat sedikit lagu-lagu Kelompok Kampungan. Saya juga tak mengikuti kelanjutan dari Kelompok Kampungan masih ada atau sudah bubar seperti halnya Lemon Trees, hingga beberapa hari lalu saya tahu, Kelompok Kampungan masih ada setelah Facebook saya di-tag oleh Abhisam DM tentang pementasannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Dari penampilan mereka di kaset, saya tahu, anggota Kelompok Kampungan memang sengaja bertingkah kampungan: mengenakan sarung, kaus oblong, peci itu. Dan penampilan semacam itu, saya kira adalah bentuk perlawanan tersendiri terhadap kemapanan dan kegagapan yang saat itu [dan mungkin sampai saat ini] melanda banyak orang.

Jakarta misalnya mulai banyak dibangun gedung bertingkat dengan lift, sementara orang-orang kampung, apatah pula melihat gedung pencakar langit, melihat rumah tembok pun pada zaman itu adalah sesuatu yang mencengangkan mereka. Pejabat-pejabat dan keluarganya lantas mencoba menghilangkan indetitas mereka yang berasal dari kampung. Antara lain dengan mengganti nama-nama mereka. Tomo menjadi Tomi. Tini menjadi Tince. Ali disebut Alex. Mariyono minta dipanggil Mario.

Dan memang, Kelompok Kampungan, saat itu sedang melawan. Musik mereka bertolak dari spontanitas untuk menanggapi keadaan, masalah kebudayaan, pergaulan antarmanusia, masalah ekonomi, masalah sosial politik, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Maka tidak mengherankan, sewaktu terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa 1978 yang menentang beleid NKK/BKK untuk menormalisasi kehidupan kampus, lagu-lagu Kelompok Kampungan sedikit banyak ikut “membakar” hasrat anak-anak muda untuk turun ke jalan, dan itu tak mengherankan karena latar belakang dari anggota Kelompok Kampungan.

Sawung Jabo, Bram Makahekum, Edi Haryono dan mendiang Inisisri yang bergabung di kelompok itu, sebelumnya adalah para pemusik yang mengiringi pementaran Bengkel Teater, almarhum WS. Rendra. Dan Rendra juga pementasannya adalah salah satu simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.

Kini Kelompok Kampungan telah berubah. Sebagian anggotanya seperti Sawung bersolo karier. Inisisri dan beberapa yang lain sudah meninggal. Praktis yang tersisa dari Kelompok Kampungan hanyalah Bram.

Dialah yang kemudian merekrut anak-anak muda untuk melanjutkan Kelompok Kampungan. Dan Kelompok Kampungan [yang baru] itulah yang sejak semalam [hingga malam nanti] pentas di Graha Bhakti Budaya, TIM, Jakarta bersama Iwan Fals. Nama yang disebut terakhir, konon adalah penggemar Kelompok Kampungan, dan di TIM, dia akan menyanyikan lagu-lagu dari Kelompok Kampungan [Bram].

Di iklan-iklan pementasannya kali ini, mereka mestinya akan tampil bersama sastrawan Radhar Panca Dahana dan aktivis mahasiswa 1975 Hariman Siregar [yang tentu saja akan berorasi seperti biasa dia lakukan]. Tapi dari penyair Jose Rizal Manua, saya mendapat kabar Hariman tak bisa datang untuk acara yang sudah disusun sejak beberapa bulan sebelumnya, karena dia ikut dalam rombongan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat.

Dan bagi Hariman, mendampingi kunjungan presiden tentu saja lebih penting dan lebih tidak kampungan, ketimbang harus melunasi janji tampil bersama Kelompok Kampungan.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar