Kamis, 29 Oktober 2015

Robot

Artikel tentang WhatsApp di InfoKomputer[dot]com April lalu, menarik. Disebutkan di tulisan itu, pengguna WhatsApp di seluruh dunia sudah menembus angka 800 juta setiap bulan. Dan merujuk kepada artikel di Intisari[dot]com setahun sebelumnya, yang menyebut pengguna WhatsApp mencapai 430 juta, maka artikel di InfoKomputer mengkonfirmasi peningkatan pengguna WhatsApp di seluruh dunia hingga hampir 50 persen.

Jumlah itu tentu saja mengalahkan jumlah pengguna Facebook Massenger [600 juta], WeChat [500 juta], Instagram [300 juta], LINE [181 juta] dan Blackberry [90 juta]. Itu pun baru pengguna aktif, atau di luar pengguna WhatsApp yang terdaftar yang ditaksir mencapai semiliar pengguna pada tahun ini. Dan gara-gara pengguna WhatsApp terus meningkat, banyak operator seluler yang diperkirakan kehilangan potensi pendapatan.

Dua tahun lalu, lembaga riset Ovum yang melakukan penelitian terhadap beberapa kelompok bisnis seluler seperti Vodafone Group, America Movil SAB, dan Verizon Communications mengungkapkan, operator seluler kehilangan pendapatan US$ 32,5 miliar dollar [sekitar Rp 382 triliun]. Potensi kehilangan pendapatan itu diprediksi menjadi dua kali lipat pada tahun depan.

WhatsApp memang fenomenal. Sampai April tahun ini, WhatsApp mengirimkan hingga 30 juta pesan setiap hari, atau melampaui pengiriman SMS di seluruh dunia yang mencapai 20 juta pesan. Dan hal itu tentu saja mengejutkan.

Aplikasi pengiriman dan penerimaan pesan, gambar, catatan suara, dan pesan video pada ponsel pintar [smartphone] itu, cara kerjanya hampir mirip dengan SMS, tapi berbeda dengan SMS, WhatsApp tidak terhubung langsung dengan operator ponsel. Ia hanya memerlukan fasilitas 3G atau WiFi. Dengan cara kerja seperti itu, sepintas WhatsApp tampak seperti gratis karena dianggap tidak menggunakan pulsa dan hanya menggunakan sambungan internet nirkabel.

Problemnya: sambungan WiFi mestinya juga tidak gratis. Agar bisa berkirim pesan, penguna WhatsApp harus terlebih dahulu tersambung dengan layanan internet yang di ponsel mereka disediakan oleh operator seluler, dan itu tentu ada ongkosnya. Dengan kata lain, mungkin saja operator seluler telah kehilangan potensi pendapatan dari penggunaan SMS sebab orang-orang mulai beralih ke WhatsApp, tapi para operator seluler tetap menangguk untung dari penggunaan internet yang tersambung ke WhatsApp.

Maka dengan 800 juta pengguna aktif WhatsApp setiap bulan, dan anggaplah setiap penggunanya memanfaatkan paket internet dari operator seharga Rp 50 ribu sebulan, akan ada sekitar Rp 40 triliun yang masuk ke pembukuan perusahaan operator seluler. Dalam setahun, pendapatan itu menjadi Rp 480 triliun. Itu pun baru hitungan minimal, dan belum termasuk pendapatan dari pengiriman SMS yang oleh Ovum disebut mulai berkurang.

Andai benar ada 20 juta SMS setiap hari dengan rata-rata ongkos pengiriman Rp 100, operator seluler mendapat pemasukan Rp 60 miliar setiap bulan, atau Rp7,2 triliun setahun. Ditambah pendapatan dari paket internet yang digunakan pengguna WhatsApp, maka paling sedikit ada sekitar Rp 487,2 triliun uang yang masuk ke operator seluler. Jumlah itu hampir mencapai sepertiga dari pendapatan negara yang dihitung dalam APBN 2015 sebesar Rp 1.793,6 triliun.

Pendapatan operator seluler akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang menyusul meningkatnya pengguna ponsel. Uangnya, berasal dari seluruh pengguna ponsel: konglomerat, pengusaha, PNS, buruh, pedagang, dan sebagainya. Kecuali konglomerat dan mungkin juga PNS, semua pengguna ponsel yang lain terpontang-panting setiap hari hanya untuk mendapatkan uang. Celakanya, sebagian dari uang yang didapat oleh mereka kemudian disumbangkan ke operator seluler karena ponsel, kini dianggap sebagai keniscayaan.

Dengan enteng mereka membeli ponsel yang harganya bahkan bisa melampaui pendapatan mereka. Lalu sejak bangun pagi hingga hendak tidur, mereka terus disibukkan dengan ponselnya seolah sesaat lagi akan ada kabar penting dari Tuhan dan karena itu mereka harus tahu, atau terpaksa dilempar ke jurang nereka. Mereka pun membelikan anak-anak mereka ponsel, dan sama seperti mereka, anak-anak itu pun menghabiskan waktu dengan ponselnya hanya untuk bermain game -- yang menyediakan hampir semua keinginan yang mungkin dimimpikan oleh anak-anak. Menjadi superhero, orang kaya, penjahat dan sebagainya.

Satu hal yang dilupakan oleh para orang tua: ketika semua keinginan yang dipenuhi oleh game tak seindah atau bahkan bertolak belakang dengan kenyataan hidup, anak-anak itu bisa kecewa dan frustasi. Pada gilirannya, mereka mungkin hanya akan menyalahkan atau malah akan membuat kenyataan hidup seperti yang tampak dalam game yang mereka mainkan. Mereka menjadi tidak mengenal lingkungannya karena dunia virtual telah menjebak mereka dengan kehidupan yang nisbi, dan itu bukan monopoli anak-anak.

Di Facebook ini misalnya, semua dari kita terutama saya, juga hidup dengan dunia virtual. Menyapa kawan dari layar komputer, tapi merengut kepada tetangga rumahnya. Mengunggah foto makanan atau acara makan bersama, tapi tidak tahu anak tetangganya sedang sekarat kelaparan. Menulis tentang keadilan, tapi di kantornya menjadi penindas paling nyata bagi karyawannya. Memperjuangkan hak asasi, tapi meludah ketika melihat para buruh bergerak menuntut upah layak hanya agar bisa membeli celana dalam dan kutang.

Dunia dan kehidupan manusia rupanya memang telah berubah. Bergerak dengan sangat cepat ke arah yang disebut oleh John Naisbit, sebagai tak pernah dibayangkan sebelumnya. Manusia lalu asik dan menikmati hidup di dunia yang palsu dan pura-pura.

Suatu hari kelak, barangkali akan ada satu zaman, di mana manusia hanyalah sekumpulan robot yang pikiran dan jiwanya dipenuhi dengan sekrup dan baut. Dan seperti halnya demokrasi, semua kehidupan yang plastik itu ironisnya harus dibeli oleh mereka, sementara perusahaan seperti operator ponsel antara lain, akan terus mengeruk otak dan memeras keringat mereka. Mungkin sampai kering.

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar