Selasa, 27 Oktober 2015

Selingkuh

Anggota DPR yang juga mantan peragawati Arzzeti Bilbina diilaporkan berselingkuh dengan seorang anggota TNI di sebuah kamar Hotel, di Malang Jawa Timur. Itulah kalimat pernyataan yang ditulis wartawan Sinar Harapan[dot]co, kemarin, 26 Oktober di bawah judul “Kadispenad TNI Benarkan Penggerebekan Arzzeti Bilbina di Hotel”.

Kalimat itu tentu menarik perhatian karena memenuhi hampir semua yang dibutuhkan oleh sebuah berita: ada tokoh sekaligus anggota DPR, seks, dan TNI. Dalam kredo jurnalistik koran kuning, unsur-unsur semacam itu bahkan sudah memenuhi syarat sebagai berita besar karena bukan saja perselingkuhan [seks] adalah salah satu yang bernilai-jual tinggi di luar kriminalitas, melainkan pula karena ada nama besar di dalamnya: peragawati dan TNI.

Sinar Harapan [meskipun versi online] akan tetapi bukanlah media [koran] kuning. Sebelum dibreidel [1986], pada zamannya ia bahkan dikenal sebagai koran pesaing utama koran Kompas. Dan sama pula dengan Kompas, Sinar Harapan menghindari memuat berita sebelum segala sesuatunya [sumber dan isunya] jelas dan terang. Zaman akan tetapi rupanya sudah berganti. Era digital membuat Sinar Harapan dan Kompas berubah.

Bila Kompas[dot]com memberitakan isu yang sama dengan mengangkat pesan berantai WhatsApp yang beredar di kalangan wartawan ditambah konfirmasi seperlunya kepada Arzeti [bukan Arzzeti seperti ditulis Sinar Harapan atau Arzetti seperti ditulis wartawan Tempo.co] di bawah judul “Beredar Kabar, Arzeti Bilbina Digerebek di Kamar Hotel Berdua Seorang Pria”, Sinar Harapan melangkah lebih jauh: menuduh telah terjadi perselingkuhan.

Perhatikan kalimat yang ditulis di bagian awal berita itu. Ada empat perkara di kalimat pernyataan itu. Pertama, Arzeti. Kedua, ada yang melaporkan. Ketiga, selingkuh. Keempat, anggota TNI. Empat objek itu setidaknya sudah menjawab empat dari lima unsur yang dibutuhkan oleh sebuah berita: 5W + 1 H [apa, kapan, di mana, siapa, mengapa dan bagaimana] itu.

Siapa? Arzeti Bilbina dan anggota TNI. Kenapa? Berselingkuh. Di mana? Di sebuah kamar hotel di Malang. Bagaimana [mereka diketahui berselingkuh]? Ada yang melaporkan.

Problemnya: kalimat pernyataan itu lemah secara jurnalistik karena telah menuduh seseorang melakukan sesuatu. Benar, sebelum kata “berselingkuh” ada kata “dilaporkan”, tapi justru dengan kata “dilaporkan” itu, berita Sinar Harapan semakin tidak jelas karena tidak jelas atau tidak disebutkan siapa yang melaporkan [Arzeti dan anggota TNI berselingkuh]. Konfirmasi yang dimintakan kepada Kepala Dinas Penerangan TNI-AD Brigjen Mohamad Sabrar Fadhilah [bukan Sabar Fadillah seperti ditulis Sinar Harapan] yang kemudian menyatakan “... peristiwa yang terjadi pada Minggu [25/10] siang itu, terungkap dari laporan awal...” tidak menjawab pertanyaan “bagaimana diketahui ada perselingkuhan” antara anggota TNI dan Arzeti, sehingga “dilaporkan berselingkuh” yang ditulis Sinar Harapan bertambah ketidakjelasannya, karena tidak ada keterangan dari Sabrar tentang siapa yang melaporkan.

Pernyataan Sabrar selanjutnya “...Jika memang benar terjadi perselingkuhan, kita akan ambil sikap tegas” adalah juga pernyataan yang abu-abu. Dengan penjelasan itu, Sabar [TNI-AD] memastikan: belum tahu atau belum bisa memastikan, kebenaran dan ketidakbenaran dari kabar perselingkuhan Arzeti dan anggota TNI.

Maka berita Sinar Harapan di bawah judul “Kadispenad TNI Benarkan Penggerebekan Arzzeti Bilbina di Hotel”, harus dibaca sebagai tindakan trial by the press atau penghakiman oleh pers, sebab wartawan yang menulis telah menuduh seseorang melakukan sesuatu, yang celakanya tanpa sumber yang jelas dan terang. Penjelasan kepala penerangan TNI-AD di berita itu pun sebetulnya hanya pelengkap, sekadar tempelan untuk membangun dan menguatkan kesan atau anggapan, perselingkuhan Arzeti dan anggota TNI benar terjadi, mengingat info soal ini [seperti diberitakan oleh Kompas] asal-usulnya hanyalah pesan berantai WhatsApp di kalangan wartawan sehari sebelumnya, alias gosip.

Atau, kalau pun benar terjadi perselingkuhan dengan sumber-sumber yang juga jelas dan terang, isu semacam itu mestinya adalah santapan media kuning yang memang dibuat dan dirancang untuk menjual soal seks, darah, dan pergunjingan. Bukan isu untuk diberitakan oleh wartawan dan media sekelas Sinar Harapan, Kompas dan Tempo, betapa pun maksudnya hanya untuk mengerek jumlah pembaca dan pengunjung, agar bisa mendapatkan iklan.

#‎selasabahasa‬

(Rusdi Mathari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar