Kamis, 22 Oktober 2015

Sembunyi

Aku masih keduman sore ketika sampai di Yogya. Setelah mengantar Rus ke sebuah ruas jalan yang dekat dengan rumah kontrakannya, aku meluncur. Bukan ke rumah.

Pengalaman membuatku selalu punya tempat persembunyian. Tempat yang memutus rantai hubunganku dengan siapapun. Aku punya beberapa tempat seperti ini. Salah satu yang kini kumasuki semacam penginapan kecil, yang jaraknya mungkin hanya terpaut dua kilometer dari rumahku. Dulu, aku hampir saja memutuskan mengontrak rumah yang hanya berjarak dua rumah dari rumahku. Untuk menguji kepada diri sendiri bahwa aku bisa bersembunyi di tempat paling terdekat dari orang-orang yang sangat mengenalku: keluargaku dan tetangga-tetanggaku. Bagiku, bersembunyi, menghilang dari kerumunan, melenyapkan diri dari pola hubungan yang lazim, menghapus jejak, adalah jenis-jenis keahlian paling prima yang harus dimiliki oleh seseorang.

Aku bisa mengawasi orang-orang yang kucintai, tanpa mereka harus tahu aku berada di dekat mereka. Sejak kanak-kanak, aku selalu melatih kecepatan dan ketrampilan itu. Tanpa ada orang yang tahu. Kecepatan membutuhkan kewaspadaan. Dan bagiku, tidak ada aib yang paling besar selain keteledoran. Hal yang paling memalukan adalah ketidakmampuan mengontrol diri dan emosi.

Maka pengalaman ketika aku tidak lagi tahu apa yang kulakukan sekian minggu yang lalu adalah pukulan yang paling telak. Memukul emosi paling dalam. Aku percaya bahwa orang yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri berarti tidak bisa menjaga keluarganya, para sahabatnya, orang-orang yang dicintainya.

Kamar ini tidak terlalu besar. Jelek untuk ukuran sebuah penginapan. Dari harganya saja sudah ketahuan: 150 ribu per malam. Kamar mandinya terlalu sempit bahkan ketika hanya untuk buang air besar. Pembuangan airnya agak bau, dan satu-satunya cara untuk mengurangi itu hanyalah menutup pintu kamar mandi sempit itu rapat-rapat.

Temboknya penuh jamur. Beberapa bagian, tampak mengeletek. Lantainya terlalu kusam sehingga siapapun mengira bahwa lantai itu tak pernah disapu. Kasurnya dari busa murahan, yang bukan hanya sudah tipis, melainkan juga menebarkan aroma tak sedap. Spreinya memang berfungsi untuk melindungi tubuh dari kasur, tapi sekaligus membuat badan cepat keringatan karena berbahan kasar dan panas. Gulingnya, kurasa mirip kaos kaki raksasa. Lembek dan apak. Bantalnya harus ditekuk dua agar kepalaku terasa terganjal.

Hanya ada satu kursi dan satu meja. Kursi yang hampir seluruh kaki besinya berkarat. Sementara mejanya, diberi botol air mineral pun bisa terjatuh, saking kaki-kakinya yang tak imbang.

Tapi aku percaya, salah satu cara untuk terus membangun kewaspadaan adalaah lewat ketidaknyaman. Aku tidak mungkin bisa tidur nyenyak di sini karena itu aku harus tinggal di sini.

Aku bahkan bisa tahu kalau ada berapa ekor kecoa dan cicak yang sedang ngendon di kamar ini.

Di kamar ini, aku bisa hidup hanya dengan sebotol air dan sebungkus roti tawar selama beberapa hari. Aku tahu kalau aku lapar dan membeli makanan selain itu, maka aku tak mungkin bisa memakannya. Butuh kadar kemproh tingkat tinggi kalau sampai ada orang yang bisa memakan masakan Padang di kamar busuk ini.

Di tempat seperti ini, aku merasa lapar dan haus. Selalu tak bisa tidur. Tapi justru karena itulah aku merasa aman.

Aku nguntal dua butir aspirin dan menenggak air mineral. Kali ini, di kamar ini, dalam kondisi pusing secara fisik maupun pikiran, aku mencoba menyusun ulang semua adegan yang serbacepat. Seperempat bisa dimengerti, tiga perempat tak terpahami.

Dan seperti biasa, aku mengantuk, tapi tak bisa tidur. Gawai kumatikan setelah sebelumnya mengirim pesan ke istriku: aku tak bisa diganggu. Dia tahu maksudku. Sangat tahu. Tapi tak tahu aku ada di mana dan sedang apa.

Dia hanya tahu dan percaya. Mungkin dia sudah terlatih untuk berpikir bahwa aku akan selalu baik-baik saja. Percaya bahwa aku selalu lolos dari marabahaya. Bukan karena aku hebat, tapi kepercayaannya kepada Tuhan sungguh menakjubkan. Berbahagialah orang-orang yang punya kepercayaan.

Aku belajar banyak kepada istriku, terutama dalam hal doa. Dulu, kalau misalnya aku dan dia pergi ke mal, lalu ada pegawai mal yang mengepel lantai, kemudian orang berlalu-lalang di sekitarnya, aku bisa kehilangan selera untuk melanjutkan acara kami. Aku langsung mengajaknya pergi. Kalau kami sedang keluar bersama, lalu di tengah jalan ada orang mendorong gerobak, aku akan balik arah. Tak jadi keluar.

Hanya istriku yang berani bilang kepadaku bahwa aku bisa mendoakan mereka. Tidak semua hal bisa diubah. Tidak semua hal harus menimbulkan rasa marah dan kecewa. Semua itu akan merusak akal dan hatiku. Juga hariku.

Sekali dua, aku marah kalau dia menasihatiku seperti itu. Tapi dia tak mau menyerah. Dia menangkupkan tangannya lalu berdoa. Mungkin butuh puluhan kali peristiwa seperti itu terjadi. Baru kemudian aku belajar berdoa. Tak percaya amat, tapi aku melakukannya. Tak percaya amat, tapi menjadi biasa. Saking biasanya, jika aku menonton berita di televisi atau membaca berita di koran, ada hal yang menyedihkan, aku berdoa untuk mereka. Di tengah jalan jika aku bertemu perempuan yang sedang hamil, aku mendoakan ibu dan calon bayinya. Tak begitu percaya tapi menjadi biasa.

Hingga suatu saat ketika aku tanya kenapa dia bisa sesabar itu, jawabannya sederhana. Sebelum dia menikah, dia diajak bicara khusus oleh kedua orang tuaku. Mereka bilang, mestinya aku sudah mati berkali-kali. Tapi karena mereka percaya hanya dengan berdoa Tuhan akan menyelamatkanku, selamatlah aku. Orang tuaku hanya berharap, istriku rajin mendoakanku. Itu saja. Kebetulan pula, dia hobi berdoa. Klop sudah.

Di kamar busuk ini, aku ingin berdoa. Doa yang jarang kulakukan: berdoa untuk diriku sendiri. Aku ingin Tuhan tidak mencabut kewaspadaan dan kemampuanku untuk sanggup mengontrol diriku sendiri. Jangan ada lagi kejadian yang membuatku melakukan sesuatu begitu saja, tanpa aku bisa mengendalikannya. Tanpa aku tahu untuk apa. Tanpa aku bisa bertanya.
Seekor kecoa melintas di depanku. Aku hampir memukulnya dengan botol plastik berisi air mineral. Tapi tanganku berhenti mengayun.

Tiba-tiba badai berkecamuk di dadaku. Pukul. Kepruk. Jangan berpikir. Kepruk saja.

Seperti disambar sinar, aku merasa tak perlu melakukannya. Aku tahu kalau aku tidak bersalah jika mengepruk kecoa itu. Tapi aku melintas pertanyaan: untuk apa? Kenapa harus kulakukan?

Di saat aku berhenti mengayun itu, aku tahu, aku bisa kembali mengontrol diriku sendiri. Aku menarik nafas panjang. Mencoba tenang. Rileks. Tanganku kuturunkan dengan tenang. Aku lega.

Seekor kecoa melintas lagi di sampingku. Dan 'brak'! Aku memukul kecoa itu. Mengepruk sampai tubuhnya hancur. Cepat.

Aku terdiam. Letih. Lalu aku memutuskan untuk pulang. Benar-benar pulang. Ke rumah.

Ke rumah.

(Puthut E.A.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar