Selasa, 17 November 2015

Masih tentang Paris

A: "Media-media internasional bersikap diskriminatif dengan lebih banyak memberitakan serangan mematikan di Paris ketimbang serangan di Beirut yang terjadi sehari sebelumnya. Hanya sedikit media yang memberitakan kejadian di Beirut, Nigeria, Kenya, Palestina, dsb."

B: "Bukan tidak banyak, tapi anda yang kurang membaca berita. Coba googling, hampir pasti perhatian media-media internasional ada lokasi-lokasi konflik yang anda sebutkan itu. Kalau tidak diberitakan, dari mana anda tahu ada perang dan korban jiwa di lokasi-lokasi itu?"

Dari sekian perdebatan tentang Paris, termasuk perang foto profil, hanya bahasan di atas yang menarik perhatian saya. Jawaban senada B, yang juga diamini beberapa kawan saya itu sekilas masuk akal, tapi persis di situ juga letak masalahnya. Begitu banyaknya berita tentang konflik di berbagai tempat tidak secara otomatis membuat kualitas pemberitaan juga berpihak kepada para korban. Bisa jadi justru sebaliknya.

Problemnya, kuantitas berita tidak menghitung bias berita yang muncul yang justru berbahaya bagi pembaca karena berkonsekuensi pada bagaimana sebuah peristiwa dilihat dan diresepsi (dan direproduksi?).

Ada analisis menarik di Al Jazeera yang melakukan kritik atas pemberitaan serangan di Paris dan di Beirut yang terjadi sehari sebelumnya. Tulisan tersebut menghujam langsung ke standar ganda yang digunakan oleh media-media Barat. Habib Battah, wartawan di Beirut membandingkan berita pertama tentang serangan Paris dan Beirut di New York Times dan Reuters, apa hasilnya?

Berita pertama di NY Times dan Reuters menonjolkan jumlah korban, horor dan kepanikan massal yang muncul beberapa saat setelah serangan di Paris. Sebaliknya di Beirut, framing kedua media tersebut "mengabaikan" korban dengan menonjolkan pelaku bom bunuh diri dan serangan yang menghantam markas kelompok Hizbullah. Tak ada kutipan dari korban dan tidak ada kata teroris (yang bertaburan di berita-berita Paris).

Huffington Post malah menyebut bom bunuh diri di Beirut sebagai sebuah kejadian yang "tinggal menunggu waktu" karena merupakan konsekuensi konflik bersenjata dan langsung menghubungkan dengan situasi politik di Lebanon. Habib Battah menyebut framing semacam ini yang hanya ditulis beberapa jam setelah kejadian adalah bentuk dehumanisasi terhadap korban.

Kalau diperhatikan lebih teliti, media-media internasional ini terlihat gamang mempertahankan standar gandanya. New York Times bahkan sampai mengganti judul berita pertama (untuk satu berita yang sama) tentang Beirut sampai tiga kali seiring dengan protes yang merebak di media sosial karena berita tersebut dianggap tidak mencerminkan "kejadian yang sebenarnya". Noam Chomsky sudah lama mengkritik standar ganda dan bias semacam ini.

Jadi, banyak berita saja tidak cukup.

(Wisnu Prasetya Utomo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar